Sunday, November 10, 2019

Waris ber Waris Parpol




Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998 lalu mungkin diluar dugaan Soeharto dan keluarganya, bagaimana tidak, pada waktu berkuasa keluarga cendana mampu meredam issue apapun mulai dengan cara yang sangat halus dan senyap sampai secara terang-terangan. Selama Soeharto berkuasa semuanya seolah – olah tenang dan tidak ada apa – apa, padahal pergerakan dibawah tanah sangat masive terjadi, kita sebut saja petisi 50 oleh para mantan petinggi Indonesia yang di dominasi oleh Purnawirawan ABRI tapi berhasil diredam oleh Soeharto, belum lagi penghilangan aktivis – aktivis yang hingga saat ini belum jelas penyelesaian kasusnya seperti apa.

Sebenarnya selama 32 tahun berkuasa Soeharto tidak terlalu bermain secara politik untuk mengamankan posisinya, Soeharto tidak perlu mengeluarkan energi untuk menyusun strategi politik untuk menyingkirkan saingan Politiknya, sebab dengan kekuasaan yang Soeharto miliki waktu itu dia mampu melakukan apapun yang dia mau tanpa harus memikirkan strategi politik apapun, kekuasaan yang absolut ditangan Soeharto adalah keniscayaan yang mutlak dan itu tidak terbantahkan oleh siapapun hingga orde baru tumbang. Bahkan dibeberapa negara yang sempat memiliki pemimpin yang ototriter bertangan besi Politik Cuma dijadikan sebagai pelengkap sempurnanya sandiwara, lagian pemimpin otoriter mana yang demokratis, sebab otoriter adalah racun yang sangat mematikan bagi demokrasi (ALK)

Pundi – pundi bisnis keluarga cendana menggurita disemua sektor – sektor usaha didalm dan diluar negeri, singkat kata keluarga cendana hampir menguasi perekonomian di Indonesia, sehingga apa yang terjadi pada 21 mei 1998 adalah sesuatu yang tidak pernah diharpkan oleh Soeharto dan keluarganya,  21 mei 1998 Soeharto mundur dari kursi Presiden yang selama 32 tahun tak tergoyahkan, Sebelum Soeharto mundur, pada waktu itu Indonesia  sudah mengalami krisis politik dan ekonomi dalam kurun 6 sampai 12 bulan sebelumnya, sehingga Soeharto kehilangan kepercayaan publik bahkan Soeharto kehilangan orang – orang yang selama ini dekat dengannya.
Kejatuhan Soeharto yang tidak terencana itu luput untuk mempersiapkan generasi penerusnya dari trah keluarga Cendana atau kaderisasi Putra / Putri mahkkota, padahal waktu itu anak sulung Soeharto sempat masuk kedalam kabinet, dimana kabinet tersebut adalah kabinet terakhir sebelum tumbangnya Orde baru.

Setelah orde baru lengser, muncul era yang diberi label era Reformasi, pada era reformasi hampir semua hal yang “Haram” pada era orde baru menjadi “Halal”  di era Reformasi, sebut saja hak menyampaikan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berpolkitik, mendirikan partai politik dan banyak lagi. Pada era reformasi kebebasan berpolitik dan mendirikan partai politik sangat terbuka lebar itu terlihat dari jumlah partai politik yang ikut pemiulu pada Pemilu 1999 yang di ikutin oleh 48 partai politik yang tadinya hanya 3 partai politik menjelma menjadi 48 partai politik, pencapaian demokrasi politik tertinggi selama Indonesia merdeka. Tapi dari 48 partai politik yang ikut berlaga pada waktu itu, hanya 5 partai politik yang mendapatkan suara dan kursi terbanyak yaitu :
1.       PDI Perjuangan: 35.689.073 suara atau 33,74 persen (153 kursi)
2.       Golkar: 23.741.758 suara atau 22,44 persen (120 kursi)
3.       PKB: 13.336.982 suara atau 12,61 persen (51 kursi)
4.       PPP: 11.329.905 suara atau 10,71 persen (58 kursi)
5.       PAN: 7.528.956 suara atau 7,12 persen (34 kursi).

Kemenangan PDI Perjuangan pada waktu itu tidak langsung dengan serta merta mendudukkan ketua umumnya Megawati Soekarno Putri menjadi orang nomor satu di Indonesia, karena waktu itu sistem politik Indonesia masih sangat mentah sehingga masih sangat mudah di goreng  oleh politisi – politisi  amatiran yang baru belajar merekah ketika Soeharto lengser bersama orde barunya, politikus – politikus amatiran ini bak tanaman baru bertunas ketika musim kemarau berakhir, sistem politik yang carut marut dengan politikus – politikus yang masih merabah – rabah melahirkan banyak undang – undang yang masih terus direfisi, seperti UUD Pemilu yang mungkin hampir setiap Pemilu terus berubah – ubah sesuai dengan kebutuhan pemenang pemilu dan keinginan koalisi, makanya UUD Pemilu itu salah satu UUD yang menyerupai merek kendaraan roda dua yang terus berinofasi tiada henti.

Semenjak Pemilu di era  reformasi bergulir pada tahun 1999 banyak partai politik yang bongkar pasang, bukan hanya bongkar pasang, bahkan ada beberapa partai politik yang melahirkan partai politik yang baru. para purawirawan, pensiunan dan pengusaha berlomba – lomba mendirikan partai politik dan ikut peruntungan berlaga pada pemilu dan Pilkada. Dan mulai melakukan eksperimen dan atraksi politik yang selalu terlihat aneh dan kasar. Banyak dari para aktifis yang merapat ke PARPOL bentukan Pengusaha dan purnawirawan yah memang kelihatannya agak aneh memang, seharusnya Aktifis yang membentuk PARPOL dan para pengusaha serta purnawirawan yang merapat kepada mereka, tapi yah sudahlah namanya juga bangsa yang lagi lucu-lucunya berpolitik jadi harap maklum saja, dan tidak ada yang “salah dari itu” selama bisa dimaklumi secara politik kebersamaan semuanya akan wajar-wajar saja.

Karena mungkin perpolitikan di Indonesia sampai saat ini masih “merabah-rabah” maka tidak heran jika Politik di Indonesia masih tergolong sesuatu yang sangat mahal bahkan teramat mahal, banyak dari politikus yang sesumbar akan memberikan pembelajaran politik kepada masyarakat, karena salah satu alasan biaya politik mahal karena adanya jual beli suara di masyarakat, sedangkan dia sendiri masih “merabah-rabah” sebagai politisi dan mengeluarkan sangat banyak uang untuk bisa namanya terpampang di kertas suara Pemilu ataupun Pilkada. Oleh sebab itu beberapa politisi di Indonesia masih memegang teguh mitos bahwa menajdi pejabat dari hasil peruntungan politik bisa mendatangkan income yang sangat banyak, hal tersebut bisa dihitung dari jumlah biaya kampanye yang  tidak sebanding dengan gaji yang diperoleh setelah mandapatkan jabatan dari hasil pertaruhan politik.

Sudah pada tahu kan, mengapa “pemilik” PARPOL  sebahagian besar di dominasi oleh pengusaha dan mantan orang Penting di Negara kita ini?,yah betul karena mendirikan partai politik itu sangatlah mahal, dan mendapatkan posisi yang strategis di PARPOL itu juga sangat “Mahal” oleh sebab itu beberapa dari “Pemilik PARPOL” dan petinggi-petinggi PARPOL melibatkan hampir seluruh anggota keluarga mereka untuk terjun menjadi Politisi dadakan biar bingung yang penting berpolitik, tentu kita tidak mungkin membagikan sesuatu yang mahal kepada mereka yang bukan siapa-siapa kita bukan?.

Atraksi – atraksi dan eksperimen Politik ini tidak hanya terlihat di Pusat tapi juga sangat masife di hampir semua daerah di Indonesia, dari Bapak, Istri, anak-anak, keponakan semua menjadi pejabat, entah itu di dewan atau menjadi kepala daerah, atraksi politik seperti ini  lebih dikenal dengan istilah  Dinasti Politik. Pada level Pusat sang ketua umum PARPOL secara otomatis akan memberikan Posisi yang sangat strategis kepada  anak – anak mereka, di framing sedemikian rupa untuk meningkatkan elektabilitas dan popularitas, dan tidak lupa membeli mulut – mulut buzer sebagai pelengkap “Alat Politik” dan buzer ini juga sangat multi fungsi di dunia perpolitikan, karena selain sebagai “Pembela pembabi buta dan promosi” buzer  juga berfungsi sebagai pendukung kamuflase di dunia maya.

Anak sang ketua umum atau yang empunya Partai Politik selalu digadang – gadang sebagai regenerasi dari sang ketua umum atau sang empunya Partai, dibeberapa PARPOL anak – anak ketua umum walaupun tidak punya perstasi yang menonjol  tapi di struktur partai pasti selalu menonjol, bahkan ada partai yang secara terang-terangan melakukan lobi-lobi politik demi sang putra mahkota mendapatkan posisi di eksekutif, tetapi ada juga ketua partai yang secara terselubung menitipkan putra mahkotanya tapi sayang tidak ada gayung bersambut, tapi  ada juga anak yang empunya PARPOL yang biasa-biasa saja tapi anaknya masuk dijajaran pembantu Presiden.

Putra – Putri Mahkota didalam partai politik memang sama sekali bukan hal yang salah, sekali lagi apapun itu semuanya itu akan baik –baik saja kalau ada kesepakatan bersama secara politik. Bahkan sang ketua umum yang tak tergantikan juga sama sekali bukan masalah, walaupun parpol  ada kesan menjadi parpol oligarki, dan itu terjadi karena biasanya ada faktor yang melatarbelakangi-nya, diantaranya sang ketua umum beserta keluarganya keturunan orang tertentu, sang ketua umum beserta keluarganya merupakan sosok yang paling berjasa terhadap Negara dan organisasi tapi yang paling keren karena sang ketua umum adalah orang yang mempunyai banyak uang. Walaupun sekarang kita berada yang katanya di era digital tapi hal – hal yang disebutian diatas masih tetap berlaku, mengapa hal semacam itu masih berlaku?, karena adanya unsur mutualisme, ada yang butuh sedikit kekuasaan tapi tidak punya kendaraan Politik, ada yang punya kendaraan politik tapi kekurangan anak buah, maka terjadilah  azas manfaat saling membutuhkan, jadi tidak heran kalau masih banyak pejabat karbitan, Politikus yang meraba-raba, politis baru merekah dan lain sebagainya.
Bahkan sempat ada anggapan dari politikus – politikus yang masih meraba-raba kalau presiden saat ini adalah presiden rasa bupati, mungkin ungkpan itu tidak berlebihan kalau melihat hampir semua pekerjaan gubernur dan bupati dikerjakan oleh presiden.

Kita kembali menyoal “Politik Putra – Putri Mahkota Pemilik Parpol”  yang pada Pemilu 2019 ini ikut meramaikan bursa Pemilihan legislatif, kita sebut saja Puan Maharani, anak Pemilik atau KETUM PDIP, Pranda Paloh anak KETUM NASDEM, Angela Tanoesoedibjo anak KETUM Partai Perindo, Yuri Kemal Fadlullah Mahendra anak KETUM Partai Bulan Bintang, dan Edhie Baskoro Yudhoyono anak KETUM Partai Demokrat, dari nama – nama anak KETUM parpol diatas ada beberapa yang sering kita dengar namanya di media, bukan karena preastasi mereka yang cemerlang sehingga diberitakan oleh media melainkan karna orang tua mereka ada yang mempunyai media dan ada yang punya akses untuk dimediakan oleh orang tua mereka yang ketua umum Parpol.  Selain meramaikan bursa calon legislatif anak – anak ketum Parpol juga sempat meramaikan bursa calon mentri yang digadang – gadang dari parpol masing – masing,  ada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang beberapa kali menyambangi istana bertemu dengan Presiden Joko Widodo, namun sayang sekali namanya tidak masuk di jajaran Menteri Jokowi dan Pembantu Menteri yang terpilih, selain itu juga ada Angela Tanoesoedibjo yang saat ini kita tahu dia menjadi Wamen dari Mentri Wishnutama di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, ok next ada juga nama Prananda Surya Paloh, putra Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh yang beberapa waktu lalu namanya disebut-sebut kandidat kuat calon menteri Jokowi. Bahkan Sekjen Partai Nasdem yang kini menjabat sebagai Menkominfo, Johnny G Plate pernah sempat mengatakan bahwa Prananda Paloh layak menjadi calon menteri muda Jokowi. Tetap pada saat pelantikan Mentri dan wakil Mentri anak ketua umum Partai Nasdem ini  tidak masuk diantara jajaran mentri dan wakil mentri Jokowi, apakah karena sang putra mahkota tidak masuk di jajaran mentri dan wakil mentri Jokowi yang membuat Pemilik Metro TV menyambangi Kantor pusat PKS dan tidak mengundang Presiden ke Kongres Partai Nasdem baru-baru ini pada 9 November 2019?. Mungkin dalam hati bang Surya bertanya-tanya, mengapa anak MNC Tv bisa masuk di jajaran pembantu presiden, sedangkan anak pemilik Metro Tv tidak masuk dan mungkin tidak sempat di lirik oleh Pak Dhe. Padahal kalau kita mau menelusuri asal muasal “ngembeknya” bang Surya ke Pak Dhe soal jatah mentri yang Cuma 3 orang dari Nasdem banyak pengamat menilai itu sudah sangat wajar, sedangkan PDIP saja sebagai pemenang Pemilu yang mendapatkan 128 kursi di senayan dengan persentase 19,33%, hanya mendapat jatah 4 jatah mentri, Nasdem memperoleh  59 kursi di DPR, mendapat jatah kursi mentri 3, ini sama dengan jumlah kursi menteri partai Golkar (85 kursi dengan perolehan suara 17.229.789 persentase 12,31%) dan PKB yang masing – masing memperoleh 3 kursi mentri.

Mengutip dari https://news.detik.com Ketua DPP PKB Daniel Johan pada Jumat (8/11/2019) mengatakan kalau mentri dari partai Nasdem adalah mentri Premium, tidak tahu apa maksud mentri premium itu. Jadi pertanyaannya apa yang melatarbelakangi Bang Surya jalan – jalan ke kantor pusat PKS yang kita tahu adalah lawan Politik Nasdem dari Pilkada DKI sampai ke PILPRES 2019, dan apa juga alasan Nasdem tidak mengundang Pak Dhe Jokowi ke Kongres Partai Nasdem padahal masih segar di ingatan kita salah satu Slogan andalan Partai Nasdem “Jokowi adalah kita” Dukungan tanpa pamrih..

“Yaellaaahhh nama juga politik bro.. serius banget nanggapinnya”…

Nih gw kasih sedikit kutipan dari Bro Joyce Mitchell dalam bukunya berjudul Analisis Politik dan Kebijakan Publik:

”Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan yang umum bagi seluruh masyarakat. Atau dengan kata lain ”Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan publik untuk seluruh masyarakat”   << ini yang belum dilakukan Politikus Indonesia

Nih ada lagi kutipan dari si Bro Harold D. Lasswell dan A. Kaplan dalam bukunya yang berjudul Power Society,

"Ilmu Politik untuk mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan"

dan dalam buku Who get What, When and How, si bro Lasswell menegaskan lagi bahwa

"politik adalah masalah siapa, mendapat apa, kapan dan bagaimana”

<<< nah yang ini yang sedang terjadi di Indonesia dari dulu sampai sekarang…


Silahkan komennya di kolom komen di bawah dan jangan lupa di share yaah.,..
 terima kasih udah mau jalan – jalan ke Blog saya…


Sumber Kutipan oleh :  https://ulfanurwilda.wordpress.com
Dirangkum dan di tulis Oleh : 
MixNewsDotCom / Arnoldus Leo Karra


AI

  Bagaimana Cara Kerja Kecerdasan Buatan AI bekerja dengan menggabungkan sejumlah besar data dengan cepat, pengolahan berulang, dan algori...