Wednesday, August 6, 2025

Wacana Internet Premium dan Kegelisahan Operator Seluler: Mampukah Berinovasi, atau Justru Memukul Diri Sendiri?

 Oleh :  Arnoldus Leo Karra



Disaat sedang pemulihan setelah keluar dari RS,  dan menunggu waktu untuk berangkat ke daerah, ikut bergabung dalam butiran partikel remah dari sejarah kolaborasi dua operator besar yang keren. saya coba membuka portal berita online, dan saya sangat waow, membaca tentang wacana pemerintah untuk memberlakukan Internet premium untuk pengguna Whatsap.

apa??!!..  hanya untuk “mengalahkan” WA kalian akan buat “kesusahan” baru di tengah masyarakat?.

itu kan sama saja seperti, kita iri dengan tamu kita yang lebih sukses, trus kita gebukin anak kita sebagai ungkapan protes ke tamu yang lebih sukses, konyol memang... Ayo..ayoo kita kulik-kulik sedikit dibawah. Sekaligus artikel ini buat saya upload di Bloq pribadi saya, takutnya ntar kalau tidak ada aktifitas di bloq saya, atau bloq saya nganggur, ntar malah disita oleh.. oleh.. siapa yah??....

langsung langsung kebawah.. selamat membaca..

 

Di tengah gencarnya upaya operator seluler untuk memperluas jangkauan internet ke seluruh pelosok negeri, Tiba-tiba munculnya wacana tentang "internet premium" yang justru menimbulkan tanda tanya besar. Apakah ini merupakan sebuah solusi visioner atau justru langkah abusrt yang tergesa-gesa yang berpotensi kontraproduktif?

Pasalnya, hingga hari ini, akses internet yang merata saja, belum sepenuhnya dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, terutama di wilayah terpencil 3T, dan perbatasan. Infrastruktur masih menjadi tantangan yang sangt serius, mulai dari keterbatasan jaringan dan coverage, rendahnya kualitas koneksi, hingga tingginya biaya akses untuk membuat jaringan internet di daerah-daerah tertinggal.

Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba pemerintah dengan ide yang sangat briliannya menggulirkan wacana tentang internet premium—yang berpotensi menghadirkan sistem berjenjang dalam akses informasi digital—terkesan tidak sensitif terhadap realitas lapangan. Bukannya menjembatani kesenjangan digital, konsep ini justru dikhawatirkan memperlebar jurang antara masyarakat yang mampu dan yang tidak mampu.

Dapat kita pahami pada dasarnya, wacana ini lahir dari kegelisahan para operator seluler yang merasa pendapatan mereka tergerus oleh popularitas layanan over-the-top (OTT) seperti WhatsApp. Aplikasi chating ini telah menjadi alat komunikasi utama, bahkan membuang jauh layanan video call, SMS dan panggilan telepon konvensional yang selama ini menjadi tulang punggung pendapatan operator. Situasi ini seperti membangun jalan tol (jaringan internet) yang megah, namun justru dimanfaatkan secara gratis oleh pihak lain (aplikasi OTT) tanpa memberikan imbal balik yang sepadan kepada pembangun dan pemilik jalan tersebut.

Namun, mengusulkan internet premium untuk membatasi akses pada aplikasi ini justru seperti memukul diri sendiri. Kebijakan ini berpotensi merugikan masyarakat luas yang sangat bergantung pada aplikasi tersebut untuk komunikasi sehari-hari, berjualan online, atau warung yang melayani pemesanan melaluai WA, atau urusan pribadi hingga ke urusan pendidikan dan kesehatan. Selain itu, langkah ini bisa membuka celah bagi penyedia internet global seperti Starlink untuk masuk dan merebut pangsa pasarnya sendiri, terutama dari segmen masyarakat ekonomi ke bawah yang akan mencari alternatif internet yang lebih terjangkau.

Inovasi Bersama sebagai Solusi Jangka Panjang

Alih-alih membuat kebijakan yang merugikan masyarakat, operator seluler dan pemerintah sebaiknya memandang fenomena ini sebagai peluang untuk berinovasi. Mereka bisa berkolaborasi untuk menciptakan aplikasi Chating atau aplikasi komunikasi sendiri yang memiliki daya saing.

Beberapa hal yang bisa dilakukan:

Kolaborasi Menciptakan Aplikasi Nasional: Pemerintah dapat memfasilitasi kerja sama antara semua operator seluler untuk mengembangkan satu aplikasi Chating nasional, misalnya i-Kabar atau i-Chat. Aplikasi ini akan terintegrasi langsung dengan semua operator seluler yang ada di Indonesia.

Memberikan Insentif Penggunaan: Untuk menarik pengguna, operator dapat menawarkan paket insentif yang menarik. Contohnya, memberikan kuota gratis khusus,  200MB saat pendaftaran pertama di aplikasi tersebut atau bisa juga diatas 200MB, atau menawarkan harga paket data yang lebih murah dan eksklusif bagi pengguna aplikasi ini. Dengan begitu, masyarakat akan merasa diuntungkan dan perlahan-lahan beralih ke aplikasi nasional.

Menyisipkan Fitur Berbudaya Indonesia: Aplikasi ini bisa dirancang dengan fitur-fitur unik yang mencerminkan kekayaan budaya Indonesia. Misalnya, fitur stiker dengan karakter pakaian adat dari berbagai daerah, avatar yang bisa digabungkan dengan foto pengguna, atau tema-tema yang terinspirasi dari seni dan tradisi lokal. Fitur seperti ini akan memberikan nilai tambah yang tidak dimiliki oleh aplikasi asing.

Menciptakan Ekosistem Digital Terpadu: Lebih jauh lagi, aplikasi ini bisa dikembangkan menjadi sebuah super-app yang tidak hanya menyediakan layanan chating atau pesan, tetapi juga layanan pembayaran digital, berita lokal, hingga layanan publik lainnya. Ini akan menciptakan ekosistem digital yang kuat dan terintegrasi di bawah kendali dalam negeri.

Solusi Kolaboratif: Membangun Alternatif Lokal

Daripada “memusuhi” pertumbuhan atau kesuksesan aplikasi seperti WhatsApp, seharusnya ini justru menjadi pemicu lahirnya solusi kolaboratif. Pemerintah bersama operator seluler dapat merancang aplikasi Chating buatan lokal dengan tehnologi tinggi yang kompetitif dan relevan dengan kearifan budaya Indonesia.

Bayangkan jika Indonesia memiliki aplikasi bernama I-Chat atau I-Kabar, hasil kolaborasi Telkomsel, XL Axiata, Indosat, Smartfren, dan dukungan pemerintah. Beberapa skenario implementasi bisa dilakukan:

 

  • Gratis kuota 200MB – 500MB untuk pengguna baru.
  • Potongan harga khusus pembelian kuota jika digunakan lewat I-Chat / I-Kabar.
  • Fitur lokal seperti avatar berbusana adat, stiker dengan karakter budaya Indonesia, dan integrasi layanan publik digital.
  • Keamanan data berbasis regulasi lokal, untuk meningkatkan kepercayaan
  • Integrasi secara otomatis pelanggan pada Operator Selular ke Applikasi I-Chat / I-Kabar

Solusi ini akan lebih berorientasi pada kompetisi sehat, bukan pembatasan. Operator tidak lagi hanya menjadi penyedia jalur tol, tapi ikut bermain di dalam ekosistem konten dan layanan. Dan menguasai dan memetik keuntungan besar dari jalan tol yang mereka buat sendiri selama ini.

Sebagai langkah strategis, Pemerintah Indonesia bahkan bisa mempertimbangkan untuk menjalin kerja sama atau berdiskusi langsung dengan pihak-pihak yang telah sukses membangun ekosistem digital lokal yang kuat. Salah satu contohnya adalah WeChat di Tiongkok, sebuah aplikasi super yang tidak hanya menjadi platform komunikasi, tapi juga mencakup pembayaran digital, layanan transportasi, layanan publik, dan banyak lagi. Apalagi saat ini hubungan Tingkok dan Indonesia terbilang sangat baik di bidang Tehnologi Telekomunikasi, itu terlihat dengan banyaknya Infrastruktur Telekomunikasi yang menggunakan produk Tehnologi Tiongkok Seperi ZTE dan Huawei.

WeChat berhasil menggantikan peran banyak aplikasi asing di pasar domestik Tiongkok, termasuk WhatsApp yang di buat tidak berdaya di Tiongkok, dengan membangun sistem yang terintegrasi dan sesuai dengan kebutuhan lokal. Pemerintah Indonesia bisa mengundang langsung CEO atau perwakilan WeChat untuk bertukar gagasan dan mempelajari pola keberhasilan mereka dalam membangun kedaulatan digital.

Tentu pendekatannya tidak sekadar meniru atau Copy Paste, tapi menyesuaikan dengan karakteristik Indonesia, baik dari segi budaya digital, regulasi, maupun struktur industri telekomunikasi. Jika dilakukan dengan serius dan penuh kejujuran tanpa korupsi 1 Rp pun, bukan tidak mungkin Indonesia juga bisa memiliki aplikasi nasional yang kuat dan menyatukan berbagai layanan penting, sekaligus mengurangi ketergantungan pada platform asing.

 

Ancaman Justru Datang dari Luar

Ironisnya, jika wacana internet premium tetap diteruskan,  itu akan menjadi bumerang yang dampaknya akan sangat luar biasa, justru operator dalam negeri yang akan makin tergeser. Pasar digital kelas menengah ke bawah akan dengan mudah dilirik oleh penyedia layanan global seperti Starlink dan kawan-kawan-nya, yang kini agresif masuk ke wilayah terpencil Indonesia. Jika akses dibatasi atau dibuat tidak adil, masyarakat bisa beralih ke alternatif luar—dan negara kembali kehilangan kendali atas ekosistem digitalnya. Karena kebijakan itu alih-alih akan menyelamatkan “wajah dan uang operator” justru itu adalah peluang baru bagi penyedia layanan internet dari luar. Tentu saja mereka akan masuk ke masyarakat dengan berbagai promosi yang murah dengan tehnologi canggih anadalan mereka. Tentu mereka akan datang dengan bebrbagai paket-paket ekonomis yang tidak memberatkan masyarakat bawah, lalau setelah itu bagaimana dengan Internet premium??.. mungkin akan duduk di kursi penonton lagi.

Mencari Jalan Tengah yang Lebih Cerdas

Ketimbang membuat regulasi aneh yang bersifat membatasi dan berpotensi menambah kesusahan baru di masyarakat ekonomi bawah, kolaborasi untuk berinovasi jauh lebih efektif. Pemerintah dan operator seluler perlu menyadari bahwa masalah bukanlah pada aplikasi chating asing, melainkan pada ketidakmampuan mereka dalam bersaing secara sehat, asik dan oke,.

Jika wacana internet premium benar-benar diimplementasikan, ini akan menjadi langkah sangat mundur dalam upaya pemerataan digital. Sebaliknya, dengan mengembangkan solusi yang kreatif dan kolaboratif, mereka bisa mengubah tantangan menjadi peluang besar. Ini bukan hanya tentang menyelamatkan “Wajah dan pendapatan operator”, tetapi juga tentang membangun kemandirian digital Indonesia yang lebih kuat. Sekaligus mengusir benalu digital yang selama ini menikmati infrastruktur digital secara gratis dan “semenah-menah” terstruktur dan masive.

Kesimpulan: Bukan Pembatasan, Tapi Inovasi

Sekali lagi nih yah.. jadi saat ini yang dibutuhkan bukanlah melakukan hal konyol seperti "pembatasan akses melalui internet premium", melainkan inovasi layanan digital yang kompetitif, inklusif, dan berbasis kolaborasi nasional. Pemerintah dan operator harus berani keluar dari pola lama, dan mulai bertanya: jika WhatsApp bisa merajai pasar Indonesia tanpa subsidi, mengapa kita tidak bisa menciptakan hal serupa dengan kekuatan lokal yang kita miliki?

Bagaimana menurut Anda? Apakah inovasi kolaboratif ini bisa menjadi jawaban yang lebih baik daripada membuat regulasi yang membatasi?

 #SolusiKolaboratif 

#InovasiNasional

#AplikasiNasional

#KedaulatanDigital

#PersainganSehat

#TantanganDigital

#KritikKebijakan

#PemerataanDigital

#EkonomiDigital

Friday, July 25, 2025

Modulation and Latency Optimization



🌟 🔷 1. Modulation Concepts (QPSK, 16QAM, 64QAM, 256QAM)

✅ Definition:

• Modulation is a method of encoding data on a carrier signal.

• QPSK: noise-resistant, used when SINR is low.

• 16QAM: higher throughput than QPSK, requires moderate SINR.

• 64QAM: higher throughput than 16QAM, requires high SINR (~20 dB).

• 256QAM: very high throughput, requires very high SINR (~30 dB).

✅ Conclusion:

Higher modulation → higher throughput → requires higher and more stable signal quality (SINR).

________________________________________

🔷 2. What Needs to be Optimized to Improve Modulation?

✅ A. Improve SINR (Main Key)

🔧 1. Tilt & Azimuth Optimization

• Adjust tilt down/up for optimal coverage without overshooting.

• Adjust azimuth so the main beam points directly at the demand area.

🔧 2. PCI Planning & Optimization

• Avoid PCI collision (same in neighbors) and confusion (PCI reuse too close) → reduce interference.

🔧 3. Reduce Interference (ICIC/eICIC Implementation)

• Implement ICIC for LTE (inter-cell interference coordination).

• Implement eICIC on LTE-A (enhanced ICIC), especially in small cell deployments.

🔧 4. Power Optimization

• Adjust TX power to improve coverage without causing interference in other cells.

🔧 🔧 5. Load Balancing

• Distribute users from congested cells to neighboring cells → Increase average SINR.

________________________________________

✅ B. Improve Coverage Quality

🔧 6. Fill Coverage Holes

• Fix empty spots with tilt adjustments or site additions.

🔧 7. Clutter & Blockage Analysis

• Audit high-building or densely cluttered areas that reduce SINR → Optimize tilt or micro-site placement.

________________________________________

✅ C. Backhaul & Core Stability

🔧 8. Ensure Backhaul Capacity

• Prevent packet loss/congestion that forces modulation down due to increased retransmissions.

🔧 9. EPC/Core Network Optimization

• Ensure the core is not congested to ensure stable data flow, supporting high MCS.

________________________________________

✅ D. Scheduler Parameter Optimization

🔧 10. Scheduler Configuration

• Ensure that the scheduler parameters support the use of high MCS for users with good SINR.

________________________________________

🔷 3. Modulation Summary vs. Minimum SINR

Modulation Minimum SINR (Approx.)

QPSK ~ -3 dB (robust, low throughput)

16QAM ~ 10 dB

64QAM ~ 20 dB

256QAM ~ 30 dB

🔎 Note: If SINR < the modulation threshold, the system automatically downgrades to the lower modulation → user throughput decreases.

________________________________________

🔷 4. Tools for Modulation Optimization

✅ NetNumen U31/U2020: KPI monitoring SINR, MCS utilization

✅ GENEX Probe / Assistant: drive test SINR vs modulation analysis

✅ Nastar: big data analysis MCS utilization cluster-wide

________________________________________

🌟 🔷 5. Conclusion – Simple Way to Improve Modulation (64QAM/QPSK)

✅ Improve SINR (tilt, azimuth, PCI, ICIC)

✅ Optimize coverage & reduce interference

✅ Ensure backhaul/core stability

✅ Load balancing congested cells

✅ Scheduler parameter optimization



#4G

#Modulation 

#Latency 

#WirelessCommunication 

#MobileTechnology 

#Networking 

#Tech 

#Broadband 

#Speed 

#Connectivity

Obstacles During the Merger of Two Cellular Operators

By" Arnoldus Leo Karra

 

Data constraints in the context of operator mergers cover a wide range of aspects, from technical to operational and business:

1. Differences between Technology and Infrastructure

  • Radio Access Technology: XL Axiata primarily uses GSM/UMTS/LTE FDD (Frequency Division Duplex) technology with multiple frequency bands (e.g., 900 MHz, 1800 MHz, 2100 MHz, 2.1 GHz, and 2.3 GHz). Smartfren, on the other hand, was known for its CDMA base in the past and later switched to LTE TDD (Time Division Duplex) at 2300 MHz, as well as LTE FDD at 850 MHz. These technological differences require significant efforts to ensure interoperability.
  • Frequency Bands (Spectrum): Each operator has a different frequency spectrum allocation. This spectrum integration must be efficiently reorganized to maximize capacity and coverage. Some Smartfren frequencies may need to be returned to the government or transferred to XL, or vice versa, as regulated.
  • Equipment Vendors: XL and Smartfren likely use different network equipment vendors (e.g., Huawei, Ericsson, Nokia, ZTE). Integrating equipment from different vendors requires compatible interfaces and software , which can be complex.
  • Network Topology: The network architecture and topology (e.g., BTS locations, backhaul paths , core network configuration ) of the two operators will inevitably differ. Unifying them will require significant redesign.

2. Network Duplication and Redundancy

  • Site Redundancy: In many locations, two operators may have base stations adjacent to or even in the same location. This creates inefficient duplication of assets. Deciding which base stations to retain and which to decommission is a major decision.
  • Overlap Coverage: There are many areas where the coverage of the two carriers overlaps. While this can be beneficial for redundancy, it can also cause interference if not optimized.
  • Core Network Duplication: Both operators have their own core networks (MME, S-GW, P-GW, HSS, etc.). Integrating or consolidating these core networks is very complex, involving the migration of customer data and services.

3. Customer Data Interoperability and Migration

  • Customer Data Migration: Customer data (profiles, service plans, usage history, phone numbers) must be consolidated into a single, unified system. This is highly error-prone and can lead to service disruptions.
  • Billing and CRM Systems: The billing and customer relationship management (CRM) systems of both carriers must be integrated or one adopted as standard. This is a major undertaking that impacts day-to-day operations and the customer experience.
  • National Roaming: Before full integration, it may be necessary to implement national roaming between the two networks to ensure customers can continue using services wherever they are. This adds management complexity.

4. Quality of Service (QoS) and Customer Experience (QoE)

  • Service Quality Inconsistencies: Customers may experience changes in service quality during the integration process, such as varying speeds, call drops , or high latency, which can lead to churn .
  • Customer Expectation Management: Communicating the integration process and its impact to customers is a major challenge to manage expectations and minimize disappointment.

5. Regulation and Spectrum

  • Frequency License: The telecommunications regulator (Kominfo) must approve the frequency spectrum merger and may impose additional requirements, such as the return of part of the spectrum or certain restrictions.
  • Monopoly/Competitive Impact: The merger of two large players could impact the competitive landscape in the industry, and regulators will monitor this closely.

6. Organizational and Cultural Integration

  • Human Resources and Company Culture: Two companies with different cultures, processes, and teams must merge. This is also a challenge that cannot be underestimated.

How to Optimize Data and Network Integration

Optimization in the context of a merger should be done in a phased and planned manner, with a focus on minimizing service disruption.

1. Network Planning & Redesign

  • In-depth Network Audit: Conduct a comprehensive audit of both networks (XL and Smartfren) to understand their respective assets, capacity, coverage , and performance.
  • Integrated Network Design: Design an efficient target network topology, identifying BTS locations to be retained (if duplicated), upgraded , or decommissioned .
  • Spectrum Consolidation: Plan the reallocation and combined use of frequency spectrum to maximize throughput and capacity through broader Carrier Aggregation (CA) .
  • Common Technology Selection: Determine which radio access technologies (e.g., LTE, 5G) and equipment vendors will be the future standard, or how interoperability between vendors will be governed.

2. Radio Access Network (RAN) Optimization

  • Site Rationalization: Identification and decommission of duplicate or less efficient BTS, ensuring coverage and capacity are maintained in the area with BTS being maintained or upgraded .
  • Network Modernization: Upgrade maintained BTS with the latest technology (e.g., 5G-ready, higher MIMO) and update eNodeB software .
  • RF Optimization:
    • Tune Antenna Tilt & Azimuth: Re-optimize the antenna direction and tilt on all combined BTS to ensure smooth coverage and minimize inter-cell interference .
    • Power Control Optimization: Adjust transmit power for spectrum efficiency and interference mitigation.
    • Interference Management: Implement advanced solutions to identify and mitigate interference, both internal and external to the network.
  • Feature Optimization: Enable and optimize features such as Carrier Aggregation (CA) , MIMO , VoLTE (Voice over LTE) , and Small Cells/DAS across the aggregated network. This is crucial for improving throughput .

3. Transport and Core Network Optimization

  • Backhaul Consolidation: Integrate and optimize backhaul paths from both operators, increase the capacity of bottleneck links , and design better redundancy .
  • Core Network Integration:
    • Migrate customer data gradually to a single, unified core network system . This must be done with great care to avoid downtime .
    • Consolidation of MME, S-GW, P-GW , and other databases for operational efficiency and performance improvement.
    • Ensure core network capacity is sufficient to accommodate the entire combined customer load.

4. Customer Data Management and Business Systems

  • Planned Data Migration: Create a detailed customer data migration strategy, including backups , data validation, and a rollback plan in case of issues.
  • Billing & CRM System Consolidation: Integrate or select a single billing and CRM system to be used by the new entity, ensuring historical customer data remains accessible.
  • Brand & Product Strategy: Despite the network merger, XLSmart will likely retain multiple brands (XL, Axis, Smartfren) with distinct target markets. This requires a clear product strategy and data offering for each brand.

5. Continuous Testing and Validation

  • Pilot Project: Conduct a pilot project in a small area before full-scale implementation to test integration and optimization strategies.
  • Drive Test & Benchmarking: Conduct extensive drive tests and benchmarking before, during, and after the integration process to monitor KPIs (Key Performance Indicators) such as throughput , latency, call drop rate , and packet loss .
  • Real-time KPI Monitoring and Analysis: Use NMS (Network Management System) and performance tools to monitor network health in real-time and promptly address anomalies.

6. Communication and Change Management

  • Internal Communication: Involve all teams (technical, operational, marketing, customer service) in the integration process and ensure effective communication.
  • External Communications: Provide clear and transparent information to customers about the integration process, its potential impacts, and long-term benefits.
  • Customer Support: Have a customer support team ready to answer questions and address complaints during the transition.

The merger of XL and Smartfren is a major project that will take time, but with proper planning and optimization execution, the new entity XLSmart can realize significant synergies and provide better services to customers.

Is packet loss prone to occur in this case?


Yes, packet loss is highly susceptible to occurring during the merger of two major operators like XL and Smartfren. This is one of the biggest challenges that the engineering and operations teams must anticipate and manage.

Why is it so susceptible to packet loss?

There are several main reasons why packet loss is very likely to occur during the integration phase:

  1. Infrastructure Migration and Consolidation:
    • Network Topology Changes: Moving traffic from one eNodeB to another , or from one core network to a different core network , inevitably involves reconfiguring routing , IP addresses , and interconnections . Any small error here can result in packets not reaching their destination.
    • Equipment Upgrades and Maintenance: During hardware upgrades (e.g., adding cards , upgrading device software, or replacing devices), there may be brief periods of downtime or instability that can trigger packet loss .
    • Different Vendor Integration: Equipment from different vendors (e.g., Huawei and Ericsson) may not operate or interface perfectly. This requires fine-tuning, which can lead to initial packet loss .
  2. RF (Radio Frequency) Optimization and Readjustment:
    • New Interference: After combining sites and spectrum, the interference pattern in the air will change drastically. Sites that previously did not interfere with each other may now cause interference due to suboptimal power or tilt . Interference is the number one cause of packet loss in the radio layer.
    • Overlapping Coverage: A large area of overlap between two merged networks, if not managed properly, can lead to pilot pollution or ping-pong handover , which often results in packet loss .
    • Spectrum Merging: The process of merging and reorganizing frequency bands (e.g., Smartfren at 850 MHz and 2300 MHz with XL in various bands ) requires careful RF re-planning . Mistakes in the allocation or use of the combined frequencies can lead to interference and packet loss .
  3. Network Load and Traffic :
    • Traffic Spikes on Specific Nodes: When traffic from one network is redirected to another, the newly loaded gateway nodes or eNodeBs can become overloaded if their capacity has not been upgraded or properly managed, causing buffer overflows and packet dropping .
    • Complex Capacity Management: Estimating and managing the capacity needed during this transition period is complex. Incorrect estimates can lead to congestion , which can lead to packet loss .
  4. Customer Data Migration:
    • Data Migration Errors: The process of moving customer data from one database to another on the core network can experience errors . If the data is inconsistent, customer service can be disrupted and packet loss can occur (e.g., inability to authenticate or access data).
    • Billing and CRM System Integration: Issues in the integration of these back-end systems can indirectly impact data service provisioning, which in turn can lead to packet loss at the user level.
  5. User Devices (EU) and Compatibility:
    • Some older devices may experience compatibility issues when adapting to a new, fully integrated network, especially if there are fundamental changes to the technology or frequencies used. This can lead to unstable connections and packet loss .

The Importance of Continuous Monitoring and Optimization

Because the potential for packet loss is so high, the engineering team will focus on real-time monitoring of KPIs (especially packet loss rate , throughput , and retransmission rate ) and perform aggressive optimization during and after the integration process. The use of drive tests , tracing tools , and NMS data analysis will be crucial to identifying and mitigating packet loss issues as quickly as possible.

In short, a merger between two carriers is a major network operation. While the goal is long-term efficiency and service improvements, the potential side effects of packet loss and temporary service quality degradation are very real risks and must be carefully managed.

 

#XLSmartfren  

#MergerTelekomunikasi  

#IntegrasiJaringan  

#TelcoMerger  

#PacketLoss  

#OptimasiJaringan  

#TransformasiDigital

 #IndustriTelekomunikasi

#TeknologiJaringan

#SpektrumFrekuensi  

#NetworkIntegration  

#KualitasLayanan  

#PengalamanPelanggan  

#RegulasiTelekomunikasi  

#Kominfo  

#ArnoldusLeoKarra 

Retorika Janji Teknologi vs. Realitas Bisnis di Indonesia

 Oleh : Arnoldus Leo Karra

Para pemimpin perusahaan teknologi, digital, hingga telekomunikasi kerap melontarkan janji manis tentang pengembangan teknologi mutakhir di Indonesia. Tujuannya beragam, mulai dari memajukan sumber daya manusia, meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui kecerdasan buatan, hingga menciptakan masyarakat yang lebih cerdas dan aman.

Namun, patut diingat bahwa di balik retorika visioner tersebut, esensinya adalah bisnis. Para CEO dan petinggi perusahaan ini adalah pebisnis sejati. Tidak ada satu rupiah pun modal yang mereka keluarkan tanpa harapan keuntungan berlipat ganda.

Faktanya, janji-janji muluk yang sering diutarakan tersebut seringkali jauh dari realisasi. Rakyat Indonesia belum merasakan dampak signifikan dari gelontoran janji teknologi ini. Nama "Bangsa Indonesia" kerap kali hanya diseret-seret sebagai pemanis dalam presentasi bisnis, bertujuan untuk menarik simpati terhadap produk yang sedang dipasarkan. Realisasi dari janji-janji tersebut seolah menjadi urusan belakangan. Yang terpenting bagi mereka adalah presentasi bisnis yang terdengar sopan, elegan, dan penuh dengan istilah-istilah cerdas serta solusi tingkat tinggi. Namun, perlu digarisbawahi, apa pun jabatan mereka, pada dasarnya mereka adalah sales yang sedang menjual produk dan visi.

Masyarakat Indonesia seringkali terbuai dan merasa bangga dengan gembar-gembor para "sales teknologi" ini. Ironisnya, alih-alih terjadi peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia, yang sering terjadi justru gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor. Bahkan, beberapa pejabat justru mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyebutkan bahwa kualitas SDM masyarakat Indonesia masih rendah. Ini menunjukkan kesenjangan yang mencolok antara janji-janji manis para pebisnis teknologi dan kenyataan pahit yang dihadapi masyarakat Indonesia.

#JanjiTeknologi
#RealitaBisnis
#DigitalisasiIndonesia
#PHKTeknologi
#IroniDigital
#SDMRendah
#KesenjanganDigital
#RetorikaCEO
#BisnisVsRakyat
#HanyaJanji

Thursday, July 24, 2025

Digital Akar Rumput, siapa yang di Untungkan?

 Oleh : Arnoldus Leo Karra

Selama ini, para operator seluler gencar melakukan merger atau "kawin-mengawinkan network" untuk menggabungkan infrastruktur jaringan mereka. Tujuannya jelas: meningkatkan kualitas layanan 4G, seperti kecepatan unduh (DL Throughput) yang tinggi, latensi yang rendah, dan nilai SINR yang optimal. Penggabungan spektrum frekuensi dan kapasitas transmisi antar operator ini secara signifikan membuka peluang peningkatan kualitas dan kapasitas layanan.

Penggabungan pita frekuensi melalui Carrier Aggregation (CA) bukanlah hal baru. Beberapa tahun lalu, dua operator CDMA melakukan merger yang terbilang sukses, dan kini mereka bergabung lagi dengan operator seluler lain. Langkah bisnis ini sangat strategis karena mereka telah memiliki pengalaman keberhasilan sebelumnya dalam konsolidasi jaringan.

Namun, ada ironi besar di balik upaya ini. Di saat banyak operator seluler bersatu untuk memperluas cakupan dan memperbaiki kualitas jaringan, ada bisnis Over-The-Top (OTT) yang mungkin tidak mengeluarkan biaya sepeser pun untuk infrastruktur tersebut, tetapi justru merekalah yang paling diuntungkan dari penggabungan ini.

Selain sibuk dengan urusan merger, para operator juga gencar melakukan digitalisasi. Sayangnya, digitalisasi ini seolah tidak menyentuh "akar rumput". Dengan kata lain, mereka luput mendigitalisasi segmen masyarakat di lapisan bawah, padahal di sinilah potensi keuntungan terbesar berada. Para pebisnis OTT justru jeli melihat dan memanfaatkan celah ini. Sementara operator seluler sibuk menjaring "ikan besar di atas", para pebisnis OTT dari luar justru menjaring keuntungan dari "akar rumput".

Apa hasilnya? Seolah karpet merah telah terhampar bagi bisnis OTT. Dengan meluasnya jaringan 4G hingga ke pelosok Nusantara, aplikasi seperti WhatsApp dan Telegram kini bisa digunakan di daerah terpencil. Saya sendiri, yang dulunya harus menggunakan jaringan 2G untuk menghubungi keluarga di pelosok desa di Toraja, kini bisa menelepon berjam-jam menggunakan WhatsApp. Kini, pulsa hanya diisi untuk memperpanjang masa aktif dan membeli paket kuota agar bisa menelepon via WhatsApp, bukan lagi untuk melakukan panggilan suara 2G, apalagi mengirim pesan menggunakan SMS.

Mengutip salah satu pejabat negara, "Para operator berdarah-darah membangun infrastruktur, tapi orang lain yang menikmati untung." Kutipan ini menggambarkan realitas pahit yang terjadi di lapangan.

Para operator seluler harus segera menyadari, jangan sampai mereka hanya menjadi penyedia "karpet merah" atau "jalan mulus" tanpa menikmati hasil dari investasi besar yang telah mereka keluarkan. Menjaring keuntungan dari segmen "atas" memang sangat strategis, tetapi jangan lupakan bahwa potensi di segmen "bawah" juga tak kalah strategis. Masyarakat di pelosok belum terlalu membutuhkan kecerdasan buatan (AI); mereka hanya membutuhkan komunikasi yang murah dan lancar.


Apakah para operator seluler akan terus menjadi penyedia "jalan mulus" dan "karpet merah" bagi aplikasi OTT? Mengapa mereka tidak memanfaatkan atau membangun "digital akar rumput yang murah"? Yang tidak lain adalah aplikasi komunikasi yang terjangkau, multi-sistem, dan dapat berfungsi dengan baik di perangkat kelas menengah ke bawah.

Mengapa para operator seluler di Indonesia tidak merger untuk membangun satu produk digital komunikasi untuk seluruh lapisan masyarakat Indonesia?

Jangan terlalu terlena dulu dengan AI. AI memang sangat penting, tetapi belum semua lapisan masyarakat membutuhkan atau siap menggunakannya. Prioritaskan dulu komunikasi yang murah dan berkualitas sampai ke pelosok negeri. Setelah itu, secara perlahan kenalkan AI ke seluruh penjuru negeri dengan dukungan komunikasi yang luas, berkualitas, dan terjangkau.

Mari kita diskusikan ini demi masa depan telekomunikasi Indonesia yang lebih baik dan lebih menguntungkan.


=Penulis: Arnoldus Leo Karra=
komisidelapan26@gmail.com

#Telekomunikasi
#Digitalisasi 
#4G
#OperatorSeluler 
#OTT 
#AI 
#InfrastrukturDigital 
#DigitalTransformation 
IndonesiaDigital 
#StrategiBisnis 
Innovation 
#Merger 
#CarrierAggregation 
#WhatsApp 
#Telegram 
#Komunikasi 
#AkarRumput 
#TransformasiDigital #
DigitalEconomy 
#ArtikelTeknologi 
#Leadership 
#LinkedInIndonesia

Monday, July 21, 2025

Memanfaatkan Peluang Inovasi: Mengapa Operator Telekomunikasi Tidak Membuat Aplikasi Komunikasi Mereka Sendiri?dan Mengembangkan Layanan Terintegrasi?


 

Sebagai seorang penulis fiksi sejarah dan dongeng sastra, yang juga Engineer Telco (4G Engineer Optimization), saya sering menghabiskan waktu berselancar di dunia maya. Suatu hari, saya tak sengaja melihat sebuah berita yang cukup mengejutkan: "Muncul Wacana Fitur Panggilan Suara dan Video WhatsApp Dibatasi di Indonesia." Sebagai pengguna WhatsApp militan, saya terperanjat. Wacana ini terasa mengada-ada. Seolah-olah, karena tidak sanggup bersaing, pesaing justru akan "dimatikan". Terkesan kejam dan tidak sportif. Itulah yang menggelitik saya untuk menuangkan sedikit coretan dalam artikel ini.

Tentu saja, artikel ini bukan fiksi apalagi dongeng sastra.

Tantangan dan Peluang di Persimpangan Jalan

Industri telekomunikasi di Indonesia kini berada di persimpangan jalan yang krusial. Dengan dominasi aplikasi pesan instan pihak ketiga seperti WhatsApp, para operator seluler menghadapi tantangan sekaligus peluang besar — ya, sekali lagi, peluang besar jika dimanfaatkan dengan tepat. Alih-alih hanya menjadi penyedia infrastruktur yang dimanfaatkan oleh aplikasi Over-The-Top (OTT), operator punya potensi lebih.

Saat ini, produk nomor seluler yang mereka miliki hanya "dimanfaatkan" sebagai identitas akun di WhatsApp, Telegram, dan berbagai aplikasi lain. Operator seolah hanya menjadi "pipa pengantar data" tanpa memiliki kendali atas aplikasi yang digunakan oleh pelanggan mereka. Ironisnya, nilai tambah dan keuntungan besar justru diraup oleh penyedia aplikasi OTT seperti WhatsApp. Padahal, operator telekomunikasi memiliki potensi luar biasa untuk menjadi pemain utama dalam ekosistem aplikasi komunikasi digital. Ini bukan lagi sekadar wacana, melainkan sebuah terobosan strategis yang dapat mengubah lanskap digital tanah air secara fundamental.

Dari Penurunan Pendapatan Menuju Inovasi VoLTE

Saat ini, sebagian besar pendapatan operator seluler masih sangat bergantung pada layanan data dan suara tradisional (2G). Namun, seiring dengan semakin populernya komunikasi berbasis internet, pendapatan dari SMS dan panggilan suara konvensional terus merosot tajam. WhatsApp, dengan jutaan penggunanya di Indonesia, telah secara efektif menggantikan fungsi-fungsi ini. Situasi ini seharusnya menjadi sinyal darurat bagi operator untuk tidak hanya beradaptasi, tetapi juga berinovasi secara radikal, di samping terus memperluas jangkauan 4G mereka.

Jika operator seluler berani membuat terobosan baru dengan menghadirkan aplikasi serupa WhatsApp – entah itu berbasis layanan VoLTE yang sudah ada atau membangunnya dari platform mandiri – mereka berpotensi menjadi pemain utama dalam layanan komunikasi digital masa depan.

Kolaborasi atau Kompetisi: Sebuah Dilema dan Solusi Inovatif

Pertanyaan besar yang kini menggantung adalah: haruskah operator bersaing langsung dengan WhatsApp, atau justru merangkul kolaborasi?

Mencoba membangun aplikasi serupa dari nol, dengan menduplikasi atau meniru fitur yang sama persis, mungkin merupakan langkah yang sangat berat dan berisiko tinggi. Dibutuhkan investasi besar dalam pengembangan, pemasaran, dan akuisisi pengguna untuk menyaingi dominasi WhatsApp yang sudah mapan. Namun, dari segi pemasaran, jika semua operator telekomunikasi di Indonesia berkolaborasi, promosi tidak akan menjadi masalah. Mereka bisa secara bertahap mengintegrasikan pelanggan mereka ke aplikasi WhatsApp buatan sendiri, tanpa harus mengeluarkan biaya promosi besar-besaran.

Namun, ada pendekatan yang jauh lebih menjanjikan dan revolusioner: mengembangkan layanan terintegrasi yang memanfaatkan kekuatan yang sudah ada pada operator, seperti teknologi Voice over LTE (VoLTE), dan menggabungkannya dengan fitur-fitur menarik yang diminati pengguna.

VoLTE: Fondasi Aplikasi Komunikasi Masa Depan

VoLTE (Voice over LTE) bukan hanya tentang panggilan suara berkualitas tinggi. Ini adalah fondasi yang kokoh untuk membangun aplikasi komunikasi generasi berikutnya. VoLTE memungkinkan operator untuk mengintegrasikan layanan suara dan data secara lebih efisien di jaringan 4G. Potensi VoLTE melampaui panggilan suara biasa; ini adalah gerbang menuju layanan komunikasi terpadu yang lebih luas.

Bayangkan jika operator mengembangkan aplikasi yang didasarkan pada VoLTE dengan fitur-fitur berikut:

Pesan Instan (Chat) yang Terintegrasi: Menghadirkan pengalaman chatting yang mulus, langsung dari jaringan operator, dengan keamanan dan privasi yang terjamin penuh.
Panggilan Suara dan Video Berkualitas Tinggi: Memanfaatkan kualitas HD dari VoLTE untuk panggilan suara dan video yang jernih, tanpa perlu khawatir koneksi terputus.
Fitur Kolaborasi dan Produktivitas: Menambahkan fitur seperti berbagi dokumen, konferensi video, dan bahkan alat kolaborasi dasar untuk mendukung produktivitas personal maupun bisnis.
Integrasi Layanan Nilai Tambah Operator: Memungkinkan pengguna untuk dengan mudah mengakses layanan nilai tambah operator seperti pembelian pulsa, cek kuota, atau bahkan layanan finansial langsung dari aplikasi.
Fitur Handover (HO) dari 4G Mobile Network ke Jaringan Wi-Fi: Ini mungkin salah satu fitur yang paling diminati masyarakat, di mana data mobile dan data statis (Wi-Fi) dapat bergantian meng-cover perangkat pengguna (User Equipment/UE) tanpa masalah pada panggilan yang sedang berlangsung, memastikan konektivitas tanpa putus.

Lebih dari Sekadar Obrolan: Menuju Ekosistem Hiburan dan Komunikasi

Untuk benar-benar menarik minat pengguna dan membuat mereka betah, aplikasi ini harus lebih dari sekadar alat komunikasi dasar. Operator dapat mempertimbangkan penambahan fitur-fitur yang inovatif dan menarik, seperti:

Integrasi Game Online Ringan: Menyediakan platform untuk game-game kasual yang dapat dimainkan langsung di aplikasi, menambah nilai hiburan dan membuat pengguna betah berlama-lama.
Konten Eksklusif: Menawarkan akses ke konten eksklusif seperti berita, video pendek, atau bahkan serial mini yang hanya tersedia di aplikasi tersebut.
Desain Ringan dan Efisien: Salah satu keluhan utama pengguna terhadap banyak aplikasi adalah ukurannya yang besar dan konsumsi sumber daya (RAM dan penyimpanan) yang tinggi. Aplikasi yang dikembangkan operator harus didesain agar sangat ringan, hemat RAM, dan tidak memakan banyak ruang penyimpanan di perangkat pengguna. Ini akan menjadi daya tarik utama, terutama bagi pengguna dengan perangkat berspesifikasi menengah ke bawah.
Pengiriman File dalam Jumlah Besar: Para pengguna dapat mengirim file hingga atau berbagai file dengan kapasitas 150MB, memenuhi kebutuhan transfer data yang semakin tinggi.

Model Bisnis Baru dan Kolaborasi Strategis

Untuk mewujudkan terobosan ini, operator dapat mempertimbangkan beberapa model bisnis dan kolaborasi strategis:

Konsorsium Operator: Para operator di Indonesia dapat membentuk konsorsium untuk mengembangkan satu aplikasi bersama. Ini akan mengurangi biaya pengembangan individual, mempercepat adopsi, dan menciptakan skala ekonomi yang lebih besar untuk bersaing dengan pemain global. Operator memiliki peluang besar karena mereka sudah memiliki jutaan pelanggan setia di seluruh Indonesia, dan masing-masing operator sudah memiliki ekosistem digital yang kuat, di mana mereka tinggal mengembangkan dan mengintegrasikan aplikasi baru ke dalamnya.
Kemitraan dengan Pengembang Lokal: Bekerja sama dengan startup teknologi dan pengembang aplikasi lokal untuk memanfaatkan keahlian mereka dalam menciptakan fitur-fitur inovatif dan user-friendly yang sesuai dengan selera pasar Indonesia.
Model Freemium dengan Fitur Premium: Menawarkan fitur dasar secara gratis dan memperkenalkan model freemium untuk fitur-fitur premium atau layanan nilai tambah, seperti kapasitas penyimpanan cloud yang lebih besar, stiker eksklusif, atau kualitas video yang lebih tinggi.

Kesimpulan: Masa Depan Komunikasi Digital di Tangan Operator

Kuncinya adalah menciptakan aplikasi yang ringan, hemat penggunaan RAM dan penyimpanan, serta memiliki integrasi erat dengan ekosistem operator. Dengan demikian, operator dapat meningkatkan loyalitas pelanggan, menambah revenue stream (arus pendapatan), dan mengurangi ketergantungan pada penyedia OTT global.

Jika tren inovatif ini diambil oleh operator seluler di Indonesia, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan kita akan melihat munculnya aplikasi chat lokal buatan operator yang mampu bersaing secara global, layaknya WeChat di Tiongkok yang sukses menjadi super-app.

Inilah saatnya operator telekomunikasi tidak hanya menjadi penonton di era digital, tetapi turun langsung menjadi aktor utama dalam layanan aplikasi komunikasi, dan melahirkan terobosan yang mengubah peta bisnis telekomunikasi nasional.

Sekali lagi, waktu bagi operator telekomunikasi di Indonesia untuk hanya menjadi "pipa" atau "penyedia nomor" telah berakhir. Dengan mengembangkan aplikasi komunikasi yang inovatif, terintegrasi dengan teknologi VoLTE, dan menawarkan fitur-fitur menarik yang efisien dalam penggunaan sumber daya, operator dapat merebut kembali pangsa pasar komunikasi digital. Ini adalah terobosan yang bukan hanya peluang bisnis, tetapi juga langkah penting untuk memastikan bahwa inovasi digital di Indonesia tidak hanya didominasi oleh pemain asing, melainkan juga tumbuh dan berkembang dari kekuatan lokal.

Apakah operator Indonesia siap menghadapi tantangan ini dan memimpin masa depan komunikasi digital di tanah air? Ini adalah pertanyaan krusial yang akan menentukan arah industri telekomunikasi di tahun-tahun mendatang.


Penulis: Arnoldus Leo Karra



#TelekomunikasiIndonesia
#OperatorSeluler
#InovasiDigital
#VoLTE
#AplikasiLokal
#WhatsAppVsOperator
#DigitalisasiIndonesia
#IndustriTelco
#TeknologiIndonesia
#PeluangBisnis
#EkosistemDigital
#OTT
#MasaDepanKomunikasi
#Telkomsel, 
#XL Axiata, 
#Indosat 
#Tri
#Smartfren
#ZTE
#Huawei
#Ericsson
#Nokia
#ArnoldusLeoKarra


 

Thursday, March 13, 2025

Sinopsis “Jejak Legenda Negeri diatas Awan”

 

Sinopsis

“Jejak Legenda Negeri diatas Awan”

 


 Simon akhirnya pulang ke Toraja untuk menghadiri pemakaman neneknya. Ia ditemani ketiga sahabatnya: Jems, Tatang, dan Wawan. Ketiga sahabat Simon terkejut melihat kemeriahan upacara dan ritual adat pemakaman nenek Simon yang jauh berbeda dari bayangan mereka.

Di rumah tempat mereka menginap, Wawan, salah satu sahabat Simon, tanpa sengaja menemukan tumpukan papan kayu yang tampak sangat usang termakan waktu. Belakangan diketahui bahwa itu adalah tumpukan papan kayu bekas peti penyimpanan benda pusaka yang sudah bertahun-tahun terbengkalai di gudang dekat dapur yang tidak terpakai. Wawan tertarik dengan ukiran mencolok pada dinding peti itu. Ia membersihkan permukaan papan kayu itu serta merapikannya. Setelah itu, ia mengambil beberapa foto dan video, lalu mengirimkannya ke Amrul, sahabatnya yang seorang dosen arkeologi di sebuah perguruan tinggi negeri. Setelah meneliti foto-foto dan video berdasarkan keilmuan dan pengalamannya, Amrul menjelaskan kepada Wawan bahwa ukiran tersebut menyimpan pesan rahasia dan petunjuk lokasi benda pusaka yang tampaknya berkaitan dengan benda pusaka yang telah ditemukan sebelumnya.

Saat mereka akan memulai pencarian benda pusaka itu sesuai dengan petunjuk yang ada di dinding peti, dua jurnalis media daring yang meliput acara pemakaman nenek Simon, Winda dan Rani, secara tidak sengaja mengetahui rahasia itu dan terpaksa bergabung dengan mereka. Dua hari setelah upacara pemakaman selesai, mereka berenam (Simon, Jems, Wawan, Tatang, Winda, dan Rani) memulai pencarian lokasi benda pusaka yang ternyata tidak jauh dari makam gunung batu tempat nenek Simon dimakamkan.

Di tengah penggalian untuk mencari tempat penyimpanan benda pusaka kedua, Simon dan teman-temannya tanpa sengaja menemukan sesuatu yang tak terduga, sebuah patung logam seukuran orang dewasa, tertanam di dalam tanah selama ribuan tahun. Patung ini menarik perhatian karena diduga berkaitan dengan suku bangsa Semit atau lebih dikenal dengan bangsa Akkadia. Dugaan ini muncul bukan tanpa alasan. Ornamen dan ukiran pada patung tersebut mirip sekali dengan ornamen yang ada pada prasasti naskah kuno yang ditemukan lima belas tahun lalu terpendam di dasar sungai di sekitar perbukitan kars Ramang-Ramang, Kabupaten Maros, yang letaknya sekitar tiga ratus kilometer dari lokasi penemuan patung ini. Yang lebih mengejutkan lagi, prasasti yang hampir sama juga pernah ditemukan di bekas reruntuhan Kerajaan Akkadia di Mesopotamia Selatan. Di sana, para arkeolog juga menemukan banyak artefak dari kota-kota kuno zaman Kerajaan Akkadia.

Tidak puas dengan penemuan patung itu, mereka terus melanjutkan penggalian. Setelah menggali lebih dalam, mereka menemukan sebuah gua misterius yang membuat jantung berdetak lebih kencang. Begitu masuk ke dalam gua, mata mereka langsung terpesona oleh pemandangan yang luar biasa. Selain dinding gua yang hampir penuh dengan tulisan dan gambar-gambar kuno yang rumit, di dalam gua yang gelap dan lembap itu terdapat sebuah patung raksasa yang menjulang megah, menempel di dinding gua. Tinggi patung tersebut kurang lebih sepuluh meter.

Tepat di bagian bawah patung, terdapat sebuah meja altar yang sangat megah dan kokoh. Di meja altar banyak terdapat simbol-simbol aneh. Selain itu, bagian bawah meja banyak tulisan paku yang menempel pada kaki penopang meja altar. Di atas meja altar, terdapat sebuah bejana air yang terbuat dari emas, berkilau meski dalam kegelapan gua. Hiasan ukiran di bejana tersebut begitu rumit dan memukau.

Belum selesai mereka dibuat bingung dengan penemuan patung logam dan gua misterius beserta ratusan artefak kuno di dalamnya, mereka kembali dihadapkan dengan teka-teki prasasti naskah kuno yang ditemukan terpendam di dasar Sungai Rammang-Rammang. #JejakLegenda

#NegeriDiAtasAwan

#MisteriKuno

#PerburuanPusaka

#PetualanganArkeologi

#RahasiaMasaLama

#PetunjukTersembunyi

#Toraja

#BudayaToraja

#WarisanIndonesia

#PatungKuno

#HubunganAkkadia

#Akkadia

#Mesopotamia

#Ukurinkayu

#PeradabanYangHilang

#RitualPemakaman

#WajibDilihat

#TidakMenunggu

#MisteriTerungkap

#JejakLegendaToraja

#MisteriKunoTanahDiAtasAwan

#PerburuanPusakaHubunganAkkadia

#UpcaraAdatToraja

#RambuSolo










#

 

Wacana Internet Premium dan Kegelisahan Operator Seluler: Mampukah Berinovasi, atau Justru Memukul Diri Sendiri?

  Oleh :  Arnoldus Leo Karra Disaat sedang pemulihan setelah keluar dari RS,   dan menunggu waktu untuk berangkat ke daerah, ikut bergabun...