Wednesday, August 6, 2025

Wacana Internet Premium dan Kegelisahan Operator Seluler: Mampukah Berinovasi, atau Justru Memukul Diri Sendiri?

 Oleh :  Arnoldus Leo Karra



Disaat sedang pemulihan setelah keluar dari RS,  dan menunggu waktu untuk berangkat ke daerah, ikut bergabung dalam butiran partikel remah dari sejarah kolaborasi dua operator besar yang keren. saya coba membuka portal berita online, dan saya sangat waow, membaca tentang wacana pemerintah untuk memberlakukan Internet premium untuk pengguna Whatsap.

apa??!!..  hanya untuk “mengalahkan” WA kalian akan buat “kesusahan” baru di tengah masyarakat?.

itu kan sama saja seperti, kita iri dengan tamu kita yang lebih sukses, trus kita gebukin anak kita sebagai ungkapan protes ke tamu yang lebih sukses, konyol memang... Ayo..ayoo kita kulik-kulik sedikit dibawah. Sekaligus artikel ini buat saya upload di Bloq pribadi saya, takutnya ntar kalau tidak ada aktifitas di bloq saya, atau bloq saya nganggur, ntar malah disita oleh.. oleh.. siapa yah??....

langsung langsung kebawah.. selamat membaca..

 

Di tengah gencarnya upaya operator seluler untuk memperluas jangkauan internet ke seluruh pelosok negeri, Tiba-tiba munculnya wacana tentang "internet premium" yang justru menimbulkan tanda tanya besar. Apakah ini merupakan sebuah solusi visioner atau justru langkah abusrt yang tergesa-gesa yang berpotensi kontraproduktif?

Pasalnya, hingga hari ini, akses internet yang merata saja, belum sepenuhnya dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, terutama di wilayah terpencil 3T, dan perbatasan. Infrastruktur masih menjadi tantangan yang sangt serius, mulai dari keterbatasan jaringan dan coverage, rendahnya kualitas koneksi, hingga tingginya biaya akses untuk membuat jaringan internet di daerah-daerah tertinggal.

Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba pemerintah dengan ide yang sangat briliannya menggulirkan wacana tentang internet premium—yang berpotensi menghadirkan sistem berjenjang dalam akses informasi digital—terkesan tidak sensitif terhadap realitas lapangan. Bukannya menjembatani kesenjangan digital, konsep ini justru dikhawatirkan memperlebar jurang antara masyarakat yang mampu dan yang tidak mampu.

Dapat kita pahami pada dasarnya, wacana ini lahir dari kegelisahan para operator seluler yang merasa pendapatan mereka tergerus oleh popularitas layanan over-the-top (OTT) seperti WhatsApp. Aplikasi chating ini telah menjadi alat komunikasi utama, bahkan membuang jauh layanan video call, SMS dan panggilan telepon konvensional yang selama ini menjadi tulang punggung pendapatan operator. Situasi ini seperti membangun jalan tol (jaringan internet) yang megah, namun justru dimanfaatkan secara gratis oleh pihak lain (aplikasi OTT) tanpa memberikan imbal balik yang sepadan kepada pembangun dan pemilik jalan tersebut.

Namun, mengusulkan internet premium untuk membatasi akses pada aplikasi ini justru seperti memukul diri sendiri. Kebijakan ini berpotensi merugikan masyarakat luas yang sangat bergantung pada aplikasi tersebut untuk komunikasi sehari-hari, berjualan online, atau warung yang melayani pemesanan melaluai WA, atau urusan pribadi hingga ke urusan pendidikan dan kesehatan. Selain itu, langkah ini bisa membuka celah bagi penyedia internet global seperti Starlink untuk masuk dan merebut pangsa pasarnya sendiri, terutama dari segmen masyarakat ekonomi ke bawah yang akan mencari alternatif internet yang lebih terjangkau.

Inovasi Bersama sebagai Solusi Jangka Panjang

Alih-alih membuat kebijakan yang merugikan masyarakat, operator seluler dan pemerintah sebaiknya memandang fenomena ini sebagai peluang untuk berinovasi. Mereka bisa berkolaborasi untuk menciptakan aplikasi Chating atau aplikasi komunikasi sendiri yang memiliki daya saing.

Beberapa hal yang bisa dilakukan:

Kolaborasi Menciptakan Aplikasi Nasional: Pemerintah dapat memfasilitasi kerja sama antara semua operator seluler untuk mengembangkan satu aplikasi Chating nasional, misalnya i-Kabar atau i-Chat. Aplikasi ini akan terintegrasi langsung dengan semua operator seluler yang ada di Indonesia.

Memberikan Insentif Penggunaan: Untuk menarik pengguna, operator dapat menawarkan paket insentif yang menarik. Contohnya, memberikan kuota gratis khusus,  200MB saat pendaftaran pertama di aplikasi tersebut atau bisa juga diatas 200MB, atau menawarkan harga paket data yang lebih murah dan eksklusif bagi pengguna aplikasi ini. Dengan begitu, masyarakat akan merasa diuntungkan dan perlahan-lahan beralih ke aplikasi nasional.

Menyisipkan Fitur Berbudaya Indonesia: Aplikasi ini bisa dirancang dengan fitur-fitur unik yang mencerminkan kekayaan budaya Indonesia. Misalnya, fitur stiker dengan karakter pakaian adat dari berbagai daerah, avatar yang bisa digabungkan dengan foto pengguna, atau tema-tema yang terinspirasi dari seni dan tradisi lokal. Fitur seperti ini akan memberikan nilai tambah yang tidak dimiliki oleh aplikasi asing.

Menciptakan Ekosistem Digital Terpadu: Lebih jauh lagi, aplikasi ini bisa dikembangkan menjadi sebuah super-app yang tidak hanya menyediakan layanan chating atau pesan, tetapi juga layanan pembayaran digital, berita lokal, hingga layanan publik lainnya. Ini akan menciptakan ekosistem digital yang kuat dan terintegrasi di bawah kendali dalam negeri.

Solusi Kolaboratif: Membangun Alternatif Lokal

Daripada “memusuhi” pertumbuhan atau kesuksesan aplikasi seperti WhatsApp, seharusnya ini justru menjadi pemicu lahirnya solusi kolaboratif. Pemerintah bersama operator seluler dapat merancang aplikasi Chating buatan lokal dengan tehnologi tinggi yang kompetitif dan relevan dengan kearifan budaya Indonesia.

Bayangkan jika Indonesia memiliki aplikasi bernama I-Chat atau I-Kabar, hasil kolaborasi Telkomsel, XL Axiata, Indosat, Smartfren, dan dukungan pemerintah. Beberapa skenario implementasi bisa dilakukan:

 

  • Gratis kuota 200MB – 500MB untuk pengguna baru.
  • Potongan harga khusus pembelian kuota jika digunakan lewat I-Chat / I-Kabar.
  • Fitur lokal seperti avatar berbusana adat, stiker dengan karakter budaya Indonesia, dan integrasi layanan publik digital.
  • Keamanan data berbasis regulasi lokal, untuk meningkatkan kepercayaan
  • Integrasi secara otomatis pelanggan pada Operator Selular ke Applikasi I-Chat / I-Kabar

Solusi ini akan lebih berorientasi pada kompetisi sehat, bukan pembatasan. Operator tidak lagi hanya menjadi penyedia jalur tol, tapi ikut bermain di dalam ekosistem konten dan layanan. Dan menguasai dan memetik keuntungan besar dari jalan tol yang mereka buat sendiri selama ini.

Sebagai langkah strategis, Pemerintah Indonesia bahkan bisa mempertimbangkan untuk menjalin kerja sama atau berdiskusi langsung dengan pihak-pihak yang telah sukses membangun ekosistem digital lokal yang kuat. Salah satu contohnya adalah WeChat di Tiongkok, sebuah aplikasi super yang tidak hanya menjadi platform komunikasi, tapi juga mencakup pembayaran digital, layanan transportasi, layanan publik, dan banyak lagi. Apalagi saat ini hubungan Tingkok dan Indonesia terbilang sangat baik di bidang Tehnologi Telekomunikasi, itu terlihat dengan banyaknya Infrastruktur Telekomunikasi yang menggunakan produk Tehnologi Tiongkok Seperi ZTE dan Huawei.

WeChat berhasil menggantikan peran banyak aplikasi asing di pasar domestik Tiongkok, termasuk WhatsApp yang di buat tidak berdaya di Tiongkok, dengan membangun sistem yang terintegrasi dan sesuai dengan kebutuhan lokal. Pemerintah Indonesia bisa mengundang langsung CEO atau perwakilan WeChat untuk bertukar gagasan dan mempelajari pola keberhasilan mereka dalam membangun kedaulatan digital.

Tentu pendekatannya tidak sekadar meniru atau Copy Paste, tapi menyesuaikan dengan karakteristik Indonesia, baik dari segi budaya digital, regulasi, maupun struktur industri telekomunikasi. Jika dilakukan dengan serius dan penuh kejujuran tanpa korupsi 1 Rp pun, bukan tidak mungkin Indonesia juga bisa memiliki aplikasi nasional yang kuat dan menyatukan berbagai layanan penting, sekaligus mengurangi ketergantungan pada platform asing.

 

Ancaman Justru Datang dari Luar

Ironisnya, jika wacana internet premium tetap diteruskan,  itu akan menjadi bumerang yang dampaknya akan sangat luar biasa, justru operator dalam negeri yang akan makin tergeser. Pasar digital kelas menengah ke bawah akan dengan mudah dilirik oleh penyedia layanan global seperti Starlink dan kawan-kawan-nya, yang kini agresif masuk ke wilayah terpencil Indonesia. Jika akses dibatasi atau dibuat tidak adil, masyarakat bisa beralih ke alternatif luar—dan negara kembali kehilangan kendali atas ekosistem digitalnya. Karena kebijakan itu alih-alih akan menyelamatkan “wajah dan uang operator” justru itu adalah peluang baru bagi penyedia layanan internet dari luar. Tentu saja mereka akan masuk ke masyarakat dengan berbagai promosi yang murah dengan tehnologi canggih anadalan mereka. Tentu mereka akan datang dengan bebrbagai paket-paket ekonomis yang tidak memberatkan masyarakat bawah, lalau setelah itu bagaimana dengan Internet premium??.. mungkin akan duduk di kursi penonton lagi.

Mencari Jalan Tengah yang Lebih Cerdas

Ketimbang membuat regulasi aneh yang bersifat membatasi dan berpotensi menambah kesusahan baru di masyarakat ekonomi bawah, kolaborasi untuk berinovasi jauh lebih efektif. Pemerintah dan operator seluler perlu menyadari bahwa masalah bukanlah pada aplikasi chating asing, melainkan pada ketidakmampuan mereka dalam bersaing secara sehat, asik dan oke,.

Jika wacana internet premium benar-benar diimplementasikan, ini akan menjadi langkah sangat mundur dalam upaya pemerataan digital. Sebaliknya, dengan mengembangkan solusi yang kreatif dan kolaboratif, mereka bisa mengubah tantangan menjadi peluang besar. Ini bukan hanya tentang menyelamatkan “Wajah dan pendapatan operator”, tetapi juga tentang membangun kemandirian digital Indonesia yang lebih kuat. Sekaligus mengusir benalu digital yang selama ini menikmati infrastruktur digital secara gratis dan “semenah-menah” terstruktur dan masive.

Kesimpulan: Bukan Pembatasan, Tapi Inovasi

Sekali lagi nih yah.. jadi saat ini yang dibutuhkan bukanlah melakukan hal konyol seperti "pembatasan akses melalui internet premium", melainkan inovasi layanan digital yang kompetitif, inklusif, dan berbasis kolaborasi nasional. Pemerintah dan operator harus berani keluar dari pola lama, dan mulai bertanya: jika WhatsApp bisa merajai pasar Indonesia tanpa subsidi, mengapa kita tidak bisa menciptakan hal serupa dengan kekuatan lokal yang kita miliki?

Bagaimana menurut Anda? Apakah inovasi kolaboratif ini bisa menjadi jawaban yang lebih baik daripada membuat regulasi yang membatasi?

 #SolusiKolaboratif 

#InovasiNasional

#AplikasiNasional

#KedaulatanDigital

#PersainganSehat

#TantanganDigital

#KritikKebijakan

#PemerataanDigital

#EkonomiDigital

No comments:

Wacana Internet Premium dan Kegelisahan Operator Seluler: Mampukah Berinovasi, atau Justru Memukul Diri Sendiri?

  Oleh :  Arnoldus Leo Karra Disaat sedang pemulihan setelah keluar dari RS,   dan menunggu waktu untuk berangkat ke daerah, ikut bergabun...