Oleh : Arnoldus Leo Karra
Disaat sedang pemulihan setelah keluar dari RS, dan menunggu waktu untuk berangkat ke daerah,
ikut bergabung dalam butiran partikel remah dari sejarah kolaborasi dua
operator besar yang keren. saya coba membuka portal berita online, dan saya
sangat waow, membaca tentang wacana pemerintah untuk memberlakukan Internet
premium untuk pengguna Whatsap.
apa??!!.. hanya untuk
“mengalahkan” WA kalian akan buat “kesusahan” baru di tengah masyarakat?.
itu kan sama saja seperti, kita iri dengan tamu kita yang
lebih sukses, trus kita gebukin anak kita sebagai ungkapan protes ke tamu yang
lebih sukses, konyol memang... Ayo..ayoo kita kulik-kulik sedikit dibawah. Sekaligus
artikel ini buat saya upload di Bloq pribadi saya, takutnya ntar kalau tidak
ada aktifitas di bloq saya, atau bloq saya nganggur, ntar malah disita oleh..
oleh.. siapa yah??....
langsung langsung kebawah.. selamat membaca..
Di tengah gencarnya upaya operator seluler untuk
memperluas jangkauan internet ke seluruh pelosok negeri, Tiba-tiba munculnya
wacana tentang "internet premium" yang justru menimbulkan
tanda tanya besar. Apakah ini merupakan sebuah solusi visioner atau justru
langkah abusrt yang tergesa-gesa yang berpotensi kontraproduktif?
Pasalnya, hingga hari ini, akses internet yang merata saja, belum
sepenuhnya dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, terutama di
wilayah terpencil 3T, dan perbatasan. Infrastruktur masih menjadi tantangan yang
sangt serius, mulai dari keterbatasan jaringan dan coverage, rendahnya kualitas
koneksi, hingga tingginya biaya akses untuk membuat jaringan internet di
daerah-daerah tertinggal.
Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba pemerintah dengan ide yang sangat
briliannya menggulirkan wacana tentang internet premium—yang berpotensi
menghadirkan sistem berjenjang dalam akses informasi digital—terkesan tidak
sensitif terhadap realitas lapangan. Bukannya menjembatani kesenjangan
digital, konsep ini justru dikhawatirkan memperlebar jurang antara masyarakat
yang mampu dan yang tidak mampu.
Dapat kita pahami pada dasarnya, wacana ini lahir dari kegelisahan para
operator seluler yang merasa pendapatan mereka tergerus oleh popularitas
layanan over-the-top (OTT) seperti WhatsApp. Aplikasi chating ini telah menjadi
alat komunikasi utama, bahkan membuang jauh layanan video call, SMS dan
panggilan telepon konvensional yang selama ini menjadi tulang punggung
pendapatan operator. Situasi ini seperti membangun jalan tol (jaringan
internet) yang megah, namun justru dimanfaatkan secara gratis oleh pihak lain
(aplikasi OTT) tanpa memberikan imbal balik yang sepadan kepada pembangun dan
pemilik jalan tersebut.
Namun, mengusulkan internet premium untuk membatasi akses pada aplikasi ini
justru seperti memukul diri sendiri. Kebijakan ini berpotensi merugikan
masyarakat luas yang sangat bergantung pada aplikasi tersebut untuk komunikasi
sehari-hari, berjualan online, atau warung yang melayani pemesanan melaluai WA,
atau urusan pribadi hingga ke urusan pendidikan dan kesehatan. Selain itu,
langkah ini bisa membuka celah bagi penyedia internet global seperti Starlink
untuk masuk dan merebut pangsa pasarnya sendiri, terutama dari segmen
masyarakat ekonomi ke bawah yang akan mencari alternatif internet yang lebih
terjangkau.
Inovasi Bersama sebagai Solusi Jangka Panjang
Alih-alih membuat kebijakan yang merugikan masyarakat, operator seluler dan
pemerintah sebaiknya memandang fenomena ini sebagai peluang untuk berinovasi.
Mereka bisa berkolaborasi untuk menciptakan aplikasi Chating atau aplikasi
komunikasi sendiri yang memiliki daya saing.
Beberapa hal yang bisa dilakukan:
Kolaborasi Menciptakan Aplikasi Nasional: Pemerintah dapat memfasilitasi kerja sama antara semua
operator seluler untuk mengembangkan satu aplikasi Chating nasional, misalnya
i-Kabar atau i-Chat. Aplikasi ini akan terintegrasi langsung dengan
semua operator seluler yang ada di Indonesia.
Memberikan Insentif Penggunaan: Untuk menarik pengguna, operator dapat menawarkan paket
insentif yang menarik. Contohnya, memberikan kuota gratis khusus, 200MB saat pendaftaran pertama di aplikasi
tersebut atau bisa juga diatas 200MB, atau menawarkan harga paket data yang
lebih murah dan eksklusif bagi pengguna aplikasi ini. Dengan begitu, masyarakat
akan merasa diuntungkan dan perlahan-lahan beralih ke aplikasi nasional.
Menyisipkan Fitur Berbudaya Indonesia: Aplikasi ini bisa dirancang dengan
fitur-fitur unik yang mencerminkan kekayaan budaya Indonesia. Misalnya, fitur
stiker dengan karakter pakaian adat dari berbagai daerah, avatar yang bisa
digabungkan dengan foto pengguna, atau tema-tema yang terinspirasi dari seni
dan tradisi lokal. Fitur seperti ini akan memberikan nilai tambah yang tidak
dimiliki oleh aplikasi asing.
Menciptakan Ekosistem Digital Terpadu: Lebih jauh lagi, aplikasi ini bisa dikembangkan menjadi
sebuah super-app yang tidak hanya menyediakan layanan chating atau pesan,
tetapi juga layanan pembayaran digital, berita lokal, hingga layanan publik
lainnya. Ini akan menciptakan ekosistem digital yang kuat dan terintegrasi di
bawah kendali dalam negeri.
Solusi Kolaboratif: Membangun Alternatif Lokal
Daripada “memusuhi” pertumbuhan atau kesuksesan aplikasi seperti WhatsApp,
seharusnya ini justru menjadi pemicu lahirnya solusi kolaboratif.
Pemerintah bersama operator seluler dapat merancang aplikasi Chating buatan
lokal dengan tehnologi tinggi yang kompetitif dan relevan dengan kearifan
budaya Indonesia.
Bayangkan jika Indonesia memiliki aplikasi bernama I-Chat atau I-Kabar,
hasil kolaborasi Telkomsel, XL Axiata, Indosat, Smartfren, dan dukungan
pemerintah. Beberapa skenario implementasi bisa dilakukan:
- Gratis kuota 200MB – 500MB untuk pengguna baru.
- Potongan harga khusus pembelian kuota jika digunakan lewat I-Chat /
I-Kabar.
- Fitur lokal seperti avatar berbusana adat, stiker dengan karakter
budaya Indonesia, dan integrasi layanan publik digital.
- Keamanan data berbasis regulasi lokal, untuk meningkatkan kepercayaan
- Integrasi secara otomatis pelanggan pada Operator Selular ke Applikasi
I-Chat / I-Kabar
Solusi ini akan lebih berorientasi pada kompetisi sehat, bukan
pembatasan. Operator tidak lagi hanya menjadi penyedia jalur tol, tapi ikut
bermain di dalam ekosistem konten dan layanan. Dan menguasai dan memetik
keuntungan besar dari jalan tol yang mereka buat sendiri selama ini.
Sebagai langkah strategis, Pemerintah Indonesia bahkan bisa
mempertimbangkan untuk menjalin kerja sama atau berdiskusi langsung dengan
pihak-pihak yang telah sukses membangun ekosistem digital lokal yang kuat.
Salah satu contohnya adalah WeChat di Tiongkok, sebuah aplikasi super
yang tidak hanya menjadi platform komunikasi, tapi juga mencakup pembayaran
digital, layanan transportasi, layanan publik, dan banyak lagi. Apalagi saat ini
hubungan Tingkok dan Indonesia terbilang sangat baik di bidang Tehnologi
Telekomunikasi, itu terlihat dengan banyaknya Infrastruktur Telekomunikasi yang
menggunakan produk Tehnologi Tiongkok Seperi ZTE dan Huawei.
WeChat berhasil menggantikan peran banyak aplikasi asing
di pasar domestik Tiongkok,
termasuk WhatsApp yang di buat tidak berdaya di Tiongkok, dengan membangun
sistem yang terintegrasi dan sesuai dengan kebutuhan lokal. Pemerintah
Indonesia bisa mengundang langsung CEO atau perwakilan WeChat untuk bertukar
gagasan dan mempelajari pola keberhasilan mereka dalam membangun kedaulatan
digital.
Tentu pendekatannya tidak sekadar meniru atau Copy Paste, tapi menyesuaikan
dengan karakteristik Indonesia, baik dari segi budaya digital, regulasi,
maupun struktur industri telekomunikasi. Jika dilakukan dengan serius dan penuh
kejujuran tanpa korupsi 1 Rp pun, bukan tidak mungkin Indonesia juga bisa
memiliki aplikasi nasional yang kuat dan menyatukan berbagai layanan
penting, sekaligus mengurangi ketergantungan pada platform asing.
Ancaman Justru Datang dari Luar
Ironisnya, jika wacana internet premium tetap diteruskan, itu akan menjadi bumerang yang dampaknya akan
sangat luar biasa, justru operator dalam negeri yang akan makin tergeser. Pasar
digital kelas menengah ke bawah akan dengan mudah dilirik oleh penyedia layanan
global seperti Starlink dan kawan-kawan-nya, yang kini agresif masuk ke
wilayah terpencil Indonesia. Jika akses dibatasi atau dibuat tidak adil,
masyarakat bisa beralih ke alternatif luar—dan negara kembali kehilangan
kendali atas ekosistem digitalnya. Karena kebijakan itu alih-alih akan
menyelamatkan “wajah dan uang operator” justru itu adalah peluang baru bagi
penyedia layanan internet dari luar. Tentu saja mereka akan masuk ke masyarakat
dengan berbagai promosi yang murah dengan tehnologi canggih anadalan mereka. Tentu
mereka akan datang dengan bebrbagai paket-paket ekonomis yang tidak memberatkan
masyarakat bawah, lalau setelah itu bagaimana dengan Internet premium??..
mungkin akan duduk di kursi penonton lagi.
Mencari Jalan Tengah yang Lebih Cerdas
Ketimbang membuat regulasi aneh yang bersifat membatasi dan berpotensi menambah
kesusahan baru di masyarakat ekonomi bawah, kolaborasi untuk berinovasi jauh
lebih efektif. Pemerintah dan operator seluler perlu menyadari bahwa masalah
bukanlah pada aplikasi chating asing, melainkan pada ketidakmampuan mereka
dalam bersaing secara sehat, asik dan oke,.
Jika wacana internet premium benar-benar diimplementasikan, ini akan
menjadi langkah sangat mundur dalam upaya pemerataan digital. Sebaliknya,
dengan mengembangkan solusi yang kreatif dan kolaboratif, mereka bisa mengubah
tantangan menjadi peluang besar. Ini bukan hanya tentang menyelamatkan “Wajah
dan pendapatan operator”, tetapi juga tentang membangun kemandirian digital
Indonesia yang lebih kuat. Sekaligus mengusir benalu digital yang selama ini
menikmati infrastruktur digital secara gratis dan “semenah-menah” terstruktur
dan masive.
Kesimpulan: Bukan Pembatasan, Tapi Inovasi
Sekali lagi nih yah.. jadi saat ini yang dibutuhkan bukanlah melakukan hal
konyol seperti "pembatasan akses melalui internet premium",
melainkan inovasi layanan digital yang kompetitif, inklusif, dan berbasis
kolaborasi nasional. Pemerintah dan operator harus berani keluar dari pola
lama, dan mulai bertanya: jika WhatsApp bisa merajai pasar Indonesia tanpa
subsidi, mengapa kita tidak bisa menciptakan hal serupa dengan kekuatan
lokal yang kita miliki?
Bagaimana menurut Anda? Apakah inovasi kolaboratif ini bisa menjadi jawaban
yang lebih baik daripada membuat regulasi yang membatasi?
#InovasiNasional
#AplikasiNasional
#KedaulatanDigital
#PersainganSehat
#TantanganDigital
#KritikKebijakan
#PemerataanDigital
#EkonomiDigital
No comments:
Post a Comment