Selama ini, para operator seluler gencar melakukan merger atau "kawin-mengawinkan network" untuk menggabungkan infrastruktur jaringan mereka. Tujuannya jelas: meningkatkan kualitas layanan 4G, seperti kecepatan unduh (DL Throughput) yang tinggi, latensi yang rendah, dan nilai SINR yang optimal. Penggabungan spektrum frekuensi dan kapasitas transmisi antar operator ini secara signifikan membuka peluang peningkatan kualitas dan kapasitas layanan.
Penggabungan pita frekuensi melalui Carrier Aggregation (CA) bukanlah hal baru. Beberapa tahun lalu, dua operator CDMA melakukan merger yang terbilang sukses, dan kini mereka bergabung lagi dengan operator seluler lain. Langkah bisnis ini sangat strategis karena mereka telah memiliki pengalaman keberhasilan sebelumnya dalam konsolidasi jaringan.
Namun, ada ironi besar di balik upaya ini. Di saat banyak operator seluler bersatu untuk memperluas cakupan dan memperbaiki kualitas jaringan, ada bisnis Over-The-Top (OTT) yang mungkin tidak mengeluarkan biaya sepeser pun untuk infrastruktur tersebut, tetapi justru merekalah yang paling diuntungkan dari penggabungan ini.
Selain sibuk dengan urusan merger, para operator juga gencar melakukan digitalisasi. Sayangnya, digitalisasi ini seolah tidak menyentuh "akar rumput". Dengan kata lain, mereka luput mendigitalisasi segmen masyarakat di lapisan bawah, padahal di sinilah potensi keuntungan terbesar berada. Para pebisnis OTT justru jeli melihat dan memanfaatkan celah ini. Sementara operator seluler sibuk menjaring "ikan besar di atas", para pebisnis OTT dari luar justru menjaring keuntungan dari "akar rumput".
Apa hasilnya? Seolah karpet merah telah terhampar bagi bisnis OTT. Dengan meluasnya jaringan 4G hingga ke pelosok Nusantara, aplikasi seperti WhatsApp dan Telegram kini bisa digunakan di daerah terpencil. Saya sendiri, yang dulunya harus menggunakan jaringan 2G untuk menghubungi keluarga di pelosok desa di Toraja, kini bisa menelepon berjam-jam menggunakan WhatsApp. Kini, pulsa hanya diisi untuk memperpanjang masa aktif dan membeli paket kuota agar bisa menelepon via WhatsApp, bukan lagi untuk melakukan panggilan suara 2G, apalagi mengirim pesan menggunakan SMS.
Mengutip salah satu pejabat negara, "Para operator berdarah-darah membangun infrastruktur, tapi orang lain yang menikmati untung." Kutipan ini menggambarkan realitas pahit yang terjadi di lapangan.
Para operator seluler harus segera menyadari, jangan sampai mereka hanya menjadi penyedia "karpet merah" atau "jalan mulus" tanpa menikmati hasil dari investasi besar yang telah mereka keluarkan. Menjaring keuntungan dari segmen "atas" memang sangat strategis, tetapi jangan lupakan bahwa potensi di segmen "bawah" juga tak kalah strategis. Masyarakat di pelosok belum terlalu membutuhkan kecerdasan buatan (AI); mereka hanya membutuhkan komunikasi yang murah dan lancar.
No comments:
Post a Comment