Masih ingat gak guys ungkapan seorang anggota DPRD yang ngotot minta
kenaikan uang makan perjalanan dinas dari Rp 430 ribu perhari minta dinaikan
menjadi 2,5 juta perhari supaya bisa makan lobster, bukan 'makan di warteg'.
Kalimat si m taufik itu dilontarkan pada saat pembahasan anggaran perjalanan
dinas dan uang makan anggota DPRD DKI beberapa tahun silam, pertanyaan penulis
kenapa harus lobster? Apakah lobster itu simbol makanan mewah atau makanan
bergizi?, tapi percuma juga makan lobster kalau kinerja Cuma kelas teri dan
selamban keong, kasihan lobsternya.
Beberapa
hari ini ramai di jagad maya soal ekspor benih lobster yang dihembuskan oleh
seorang mentri yang berwenang soal jual menjual benih lobster, ekspor benih
lobster itu mungkin berlebihan kalau kita ibaratkan seperti menjual barang
mentah ke negara lain dan setelah matang dijual lagi ke negara kita, barangnya
itu – itu juga tapi bentuk fisiknya udah besar yang berbading lurus dengan
besarnya harga barang itu. padahal membesarkan bibit losbter yang di jual ke
luar negeri itu tidak butuh tim ahli dan kejeniusan yang luar biasa, cukup
jangan ditangkap dan biarkan mereka tumbuh besar di laut hingga tiba saatnya
untuk di panen. Nelayan bisa mendapatkan keungtungan yang lumayan besar,
kecuali memang tidak ingin melihat nelayannya makmur silahkan saja jual semua
bibit sekalian sama indukannya.
Mentri BUMN belum sebulan dilantik
sudah bergerak cepat mebenahi peusahaan – perusahaan plat merah yang bermasalah
dan hasilnya sangat memuaskan untuk ukuran seorang mentri yang belum sebulan
dilantik, sejalan dengan itu mentri KKP yang dilantik bareng dengan mentri
BUMN, malah mentri KKP nya bingung mau ngapain, alih – alih membenahi PR mentri
sebelumnya yang belum sempat diselesaikan, dia malah gak tahu mau kerja apa,
dan akhirnya bayi – bayi lobster yang jadi sasaran biar kelihatan kerja padahal
Tidak!!!. Bukannya menguntungkan Negara sendiri dia malah mau menguntungkan dan
memperkaya negara lain dengan membuka kembali keran ekspor bayi – bayi lobster.
Bagaimana mungkin negara yang tidak
punya lobster tapi punya pemasukan yang sangat besar dari hasil penjualan
lobster, sedangkan negara penghasil lobster tentu saja dengan bibit – bibit
lobsternya, tapi hasil penjualan lobsternya sangat jauh lebih kecil dari negara
yang tidak punya bibit lobster?.. how come brao??!!..
Kalau lobster berlimpah limpah di
negara kita tentu seluruh masyarakat di Indonesia ikut juga mencicipi rasa
“udang yang berukurang sangat besar ini” biar kami - kami masysrakat kelas bawah ini tahu juga
rasa lobster seperti apa, biar terwujud lagi keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Negara merasakan hasil ekspornya, rakyat merasakan hasil
lobsternya dan kalau sudah begitu tentu saja tidak ada lagi omongan anggota
dprd yang meminta kenaikan uang makan biar bisa makan lobster karena rakyat dan
anggota dpr sudah sama –sama mencicipi rasa lobster itu seperti apa.
Tapi tidak bagi Edi sang mentri KKP
yang baru menjabat ini, menurut dia penjualan benih lobster keluar negeri harus
tetap di jalankan, edi berdalih kalau
benih lobster tetap dibiarkan di alam Cuma 1 persen yang terselamatkan, padahal
dia baru satu bulan menjabat dari mana dia bisa beranggapan seperti itu dan
omongan nya tidak dipaparkan bersama data – data yang dia pegang. Benih lobster
ini dari alam dari laut, dari mana edi tahu soal 1 persen itu?.. mungkin dewa
laut neptunus saja tidak pernah mengadakan sensus jumlah kelahiran lobster dan
jumlah lobster dewasa yang sudah besar, dari kelahiran sampai dewasa, tidak ada
satu mahluk yang pernah tahu jumlah lahir lobster per minggu, perbulan,
pertahun. Berapa jumlah dengan angka
persentasi, semua hanya perkiraan dan akurasi perkiraan tidak bisa dijadikan
acuan nasional.
Penulis masih heran dengan angka
satu persen yang di sebutkan edi prabowo, tehnologi pengembang biakan lobster
saja negara kita belum punya, apalagi tehnologi sensus atau tehnologi
pendeteksi jumlah kelahiran baby lobster dan jumlah yang hidup, trus satu
persen itu angka dari mana?.. apakah Cuma ASJA ASBUN, asal jawab asal bunyi?..
hehehe entahlah..
Kita harus akui masih banyak uknum
pejabat dinegara kita yang asal bunyi asal jawab, salah satu contoh lagi
dikutip dari laman https://www.tribunnews.com Direktur Jenderal Perikanan
Budidaya KKP, Slamet Soebjakto mengungkapkan, ada berbagai hal yang membuat
budidaya lobster sulit dikembangkan, dia beralasan Negara kita tidak punya
tempat untuk budidaya lobster yang cocok
karena masih bercampur dengan budidaya ikan.. how come bro??!!.. lu itu Direktur
Jenderal Perikanan Budidaya KKP, masa iyah tempat budidaya lobster aja masih
bingung… how come brao??!!.. dan yang kedua menurut dia budidaya lobster tidak
cocok di negara kita yang tercinta ini karena terkendalah masalah pakan.
Menurut doi lagi, budidaya lobster di dalam negeri sulit dikembangkan karena
belum ada pakan yang sesuai untuk lobster, how come bro??!!..dan ujung –
ujungnya Slamet pun memberikan saran, ke depan perlu ada penelitian lebih
lanjut soal pakan lobster, padahal dia Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP,
dia memberi saran untuk dia dan kementriannya..
Dari teori – teori yang dipaparkan Direktur
Jenderal Perikanan Budidaya KKP, jauh berbeda dengan pengalaman seorang
pembudidaya lobster yang berpengalaman di Telong-elong, Jerowaru di Lombok
Timur yang bernama Abdullah. Menurut Abdullah sesuai dengan pengalaman beliau
selama ini dalam membudidayan lobster, tempat yang berbarengan itu tidak
berpengaruh dan tidak ada masalah. Masih di kutip dari laman https://www.tribunnews.com Abdullah menambahkan lobster yang dibudidayakan merupakan prioritas,
sedangkan letak dan area pembudidayaan lobster bisa dimana saja yang penting
arus dan lokasinya tidak tercemar oleh campur tangan manusia seperti boom ikan
dan potasium, sedangkan untuk pakan menurut pria yang berpengalaman dalam
budidaya lobster ini menjelaskan contoh pakan libster yang baik itu adalah
tiram dan ikan segar, padahal tiram dan ikan melimpah ruah di lautan Indonesia.
Abdulla juga menentang rencana ekspor benih lobster dengan alasan, dari
pengalamannya sendiri (bukan teori dan laporan omong kosong) Indonesia sudah
bisa mengelola pembudidayaan lobster sendiri. Kalau nelayan saja bisa, kok
mentri dan Direktur Jenderal Perikanan
Budidaya KKP masih tidak tahu cara membudidayan lobster?? how come bro??!!..
tapi memang harus diakui bersama omongan di balik meja tidak selalu berbanding
lurus dengan fakta dilapangan. Presiden saja selau blusukan untuk cek n ricek
dilapangan, masa bawahannya tidak ikuti boss nya?.. baru – baru ini penulis dengar kalimat dari
orang yang cukup berperstasi dibidangnya yang kurang lebihnya seperti ini
“kalau tidak bisa bikin, nyontek saja yang sudah jadi yang sudah teruji.. kalau
nyontek saja tidak bisa, bagaimana mau bikin.. hahaha..
Mantan Mentri KKP Ibu Susi
Pujiastuti mengungkapkan kalau "1
backpack bibit lobster kurang lebih minimal 800 ekor, rupiahnya sama dengan dua
Harley atau sama dengan 60 Brompton. Kalau bibit ini tidak diambil di laut dan
jadi besar, nilainya jadi minimal 20 Harley atau sama dengan 600 Brompton.
Tidak usah kasih makan, Tuhan yang pelihara, manusia bersabar, menjaga
pengambilannya, Tuhan lipat gandakan," terang Susi, tentu ungkapan Ibu Susi
ini sangat masuk akal mengingat beliau lama berkecimpung di bidang perikanan
dan lima tahun menjadi mentri KKP, senada dengan itu Ekonom UI Faisal Basri
mengutarakan hal serupa . Menurut data yang dikantonginya, nilai ekspor lobster
meningkat dari US$2,8 miliar menjadi US$3,25 miliar pada 2018 lantaran sudah
dibudidayakan. Sementara, bila masih bentuk benih, nilai ekspornya cenderung
menurun.
Pereaturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan Pengeluaran
Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp)
dari Wilayah RI. Tetapi sebelum peraturan itu terbit penangkapan bibit lobster
terjadi dan sangat membabi buta, jutaan bibit lobster di jual ke Vietnam.
Penangkapan bibit lobster yang tak terkendali ini membuat tangkapan lobster
dewasa sangat jauh merosot yang ujung – ujungnya akan mengakibatkan populasi
lobster pasti akan menurun, bagaimana tidak kalau jutaan bibit lobster tersebut
di jual ke Vietnam lantas yang tinggal dinegara kita apa??. Kelangkaan lobster
membuat harga lobster melambung tinggi bisa dibayangkan harga lobster mutiara
yang awalnya hanya Rp 500 ribu hingga paling mahal harga Rp 2,5 juta per kilo
gram, naik menjadi 4 juta sampai 5 juta per 800 gram akibat kelangkaan lobster.
Sedangkan kalau di ekspor ke Vietnam dalam bentuk bibit harga kisarannya 130
ribu rupian per ekor.
Menurut data Badan Pusat Statistik,
ekspor lobster dewasa dalam keadaan hidup sejak 2014 hingga kuartal III-2019
memang menunjukkan tren kenaikan. Sepanjang 2014 volumenya hanya 792 ribu
kilogram. Pada kuartal III-2019 angkanya sudah di 714 ribu kilogram. Jika
pertumbuhan setiap kuartal konstan, ekspor lobster sepanjang tahun ini bisa
melebihi 950 kilogram. Di antara rentang waktu tersebut (sepanjang 2014 sampai
kuartal III-2019), ekspor tertinggi terjadi pada 2017 sebanyak 1,28 juta
kilogram atau senilai US$ 15 juta.
Sementara kata edi lagi beranggapan
larangan yang dibuat mentri pendahulunya malah membuat maraknya penyelundupan
benih lobster. Edi tidak berpikir kalau dilarang saja masih ada penyelundupan,
bagaimana kalau tidak dilarang, tentu akan terjadi penangkapan dan penjualan
benih lobster yang sangat besar dengan memanfaatkan momen bebas ekspor benih
lobster. Dan setelah populasi lobster sudah hancur yakin dan niscaya pasti
nelayan yang akan disalahkan karena mereka dianggap yang paling bertanggung
awab atas penangkapan dan penjualan benih lobster,. Nasib orang kecil yang
selalu di salahkan atas perbuatan orang yang maha diatas…
Setiap pergantian pemimpin pasti ada
ekspektasi dan harapan yang tinggi, harapannya pemimpin yang sekarang harus
lebih baik dari pemimpin sebelumnya, itu harapannya hehee.. tapi kalau harapan
tak seindah kenyataan? Pasti muncullah kekecewaan. Begitu juga pada saat
pergantian menteri KKP dari Ibu Susi ke edi, banyak yang kecewa dan kekecewaan
itu terobati dengan harapan, tapi apa yang terjadi, Sang mentri pengganti tidak
seperti menteri sebelumnya dari segi apapun, dan kekecewaan kembali melanda.
Sebagai rakyat kalangan bawah yang tidak pernah mencicipi lobster mahal
beranggapan, pengangkatan edi sebagai menteri pengganti Ibu Susi secara tidak
langsung mau menunjukan kalau “mereka”
(lawan politik yang direkrut jadi menteri) memang tidak bisa kerja. Bagaimana tidak, menggantikan Ibu susi saja “Mereka” tidak becus dan tidak bisa kerja,
bagaimana mau menganti Presiden..
panggung politik panggung untuk
mempermalukan diri sendiri
Penulis : Arnoldus Leo Karra
(MixNewsDotCom)