Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998
lalu mungkin diluar dugaan Soeharto dan keluarganya, bagaimana tidak, pada
waktu berkuasa keluarga cendana mampu meredam issue apapun mulai dengan cara
yang sangat halus dan senyap sampai secara terang-terangan. Selama Soeharto
berkuasa semuanya seolah – olah tenang dan tidak ada apa – apa, padahal
pergerakan dibawah tanah sangat masive terjadi, kita sebut saja petisi 50 oleh
para mantan petinggi Indonesia yang di dominasi oleh Purnawirawan ABRI tapi
berhasil diredam oleh Soeharto, belum lagi penghilangan aktivis – aktivis yang
hingga saat ini belum jelas penyelesaian kasusnya seperti apa.
Sebenarnya selama 32 tahun berkuasa
Soeharto tidak terlalu bermain secara politik untuk mengamankan posisinya,
Soeharto tidak perlu mengeluarkan energi untuk menyusun strategi politik untuk
menyingkirkan saingan Politiknya, sebab dengan kekuasaan yang Soeharto miliki
waktu itu dia mampu melakukan apapun yang dia mau tanpa harus memikirkan
strategi politik apapun, kekuasaan yang absolut ditangan Soeharto adalah
keniscayaan yang mutlak dan itu tidak terbantahkan oleh siapapun hingga orde
baru tumbang. Bahkan dibeberapa negara yang sempat memiliki pemimpin yang
ototriter bertangan besi Politik Cuma dijadikan sebagai pelengkap sempurnanya
sandiwara, lagian pemimpin otoriter mana yang demokratis, sebab otoriter adalah racun yang sangat mematikan
bagi demokrasi (ALK)
Pundi – pundi bisnis keluarga
cendana menggurita disemua sektor – sektor usaha didalm dan diluar negeri,
singkat kata keluarga cendana hampir menguasi perekonomian di Indonesia,
sehingga apa yang terjadi pada 21 mei 1998 adalah sesuatu yang tidak pernah
diharpkan oleh Soeharto dan keluarganya,
21 mei 1998 Soeharto mundur dari kursi Presiden yang selama 32 tahun tak
tergoyahkan, Sebelum Soeharto mundur, pada waktu itu Indonesia sudah mengalami krisis politik dan ekonomi
dalam kurun 6 sampai 12 bulan sebelumnya, sehingga Soeharto kehilangan
kepercayaan publik bahkan Soeharto kehilangan orang – orang yang selama ini
dekat dengannya.
Kejatuhan Soeharto yang tidak
terencana itu luput untuk mempersiapkan generasi penerusnya dari trah keluarga
Cendana atau kaderisasi Putra / Putri mahkkota, padahal waktu itu anak sulung
Soeharto sempat masuk kedalam kabinet, dimana kabinet tersebut adalah kabinet
terakhir sebelum tumbangnya Orde baru.
Setelah orde baru lengser, muncul
era yang diberi label era Reformasi, pada era reformasi hampir semua hal yang
“Haram” pada era orde baru menjadi “Halal”
di era Reformasi, sebut saja hak menyampaikan pendapat, kebebasan pers,
kebebasan berpolkitik, mendirikan partai politik dan banyak lagi. Pada era
reformasi kebebasan berpolitik dan mendirikan partai politik sangat terbuka
lebar itu terlihat dari jumlah partai politik yang ikut pemiulu pada Pemilu
1999 yang di ikutin oleh 48 partai politik yang tadinya hanya 3 partai politik
menjelma menjadi 48 partai politik, pencapaian demokrasi politik tertinggi
selama Indonesia merdeka. Tapi dari 48 partai politik yang ikut berlaga pada
waktu itu, hanya 5 partai politik yang mendapatkan suara dan kursi terbanyak
yaitu :
1. PDI Perjuangan: 35.689.073 suara
atau 33,74 persen (153 kursi)
2. Golkar: 23.741.758 suara atau 22,44
persen (120 kursi)
3. PKB: 13.336.982 suara atau 12,61
persen (51 kursi)
4. PPP: 11.329.905 suara atau 10,71
persen (58 kursi)
5. PAN: 7.528.956 suara atau 7,12
persen (34 kursi).
Kemenangan PDI Perjuangan pada waktu
itu tidak langsung dengan serta merta mendudukkan ketua umumnya Megawati
Soekarno Putri menjadi orang nomor satu di Indonesia, karena waktu itu sistem
politik Indonesia masih sangat mentah sehingga masih sangat mudah di
goreng oleh politisi – politisi amatiran yang baru belajar merekah ketika
Soeharto lengser bersama orde barunya, politikus – politikus amatiran ini bak
tanaman baru bertunas ketika musim kemarau berakhir, sistem politik yang carut
marut dengan politikus – politikus yang masih merabah – rabah melahirkan banyak
undang – undang yang masih terus direfisi, seperti UUD Pemilu yang mungkin
hampir setiap Pemilu terus berubah – ubah sesuai dengan kebutuhan pemenang
pemilu dan keinginan koalisi, makanya UUD Pemilu itu salah satu UUD yang
menyerupai merek kendaraan roda dua yang terus berinofasi tiada henti.
Semenjak Pemilu di era reformasi bergulir pada tahun 1999 banyak
partai politik yang bongkar pasang, bukan hanya bongkar pasang, bahkan ada
beberapa partai politik yang melahirkan partai politik yang baru. para
purawirawan, pensiunan dan pengusaha berlomba – lomba mendirikan partai politik
dan ikut peruntungan berlaga pada pemilu dan Pilkada. Dan mulai melakukan
eksperimen dan atraksi politik yang selalu terlihat aneh dan kasar. Banyak dari
para aktifis yang merapat ke PARPOL bentukan Pengusaha dan purnawirawan yah
memang kelihatannya agak aneh memang, seharusnya Aktifis yang membentuk PARPOL
dan para pengusaha serta purnawirawan yang merapat kepada mereka, tapi yah
sudahlah namanya juga bangsa yang lagi lucu-lucunya berpolitik jadi harap
maklum saja, dan tidak ada yang “salah dari itu” selama bisa dimaklumi secara
politik kebersamaan semuanya akan wajar-wajar saja.
Karena mungkin perpolitikan di
Indonesia sampai saat ini masih “merabah-rabah” maka tidak heran jika Politik
di Indonesia masih tergolong sesuatu yang sangat mahal bahkan teramat mahal,
banyak dari politikus yang sesumbar akan memberikan pembelajaran politik kepada
masyarakat, karena salah satu alasan biaya politik mahal karena adanya jual
beli suara di masyarakat, sedangkan dia sendiri masih “merabah-rabah” sebagai
politisi dan mengeluarkan sangat banyak uang untuk bisa namanya terpampang di
kertas suara Pemilu ataupun Pilkada. Oleh sebab itu beberapa politisi di
Indonesia masih memegang teguh mitos bahwa menajdi pejabat dari hasil
peruntungan politik bisa mendatangkan income yang sangat banyak, hal tersebut
bisa dihitung dari jumlah biaya kampanye yang tidak sebanding dengan gaji yang diperoleh
setelah mandapatkan jabatan dari hasil pertaruhan politik.
Sudah pada tahu kan, mengapa
“pemilik” PARPOL sebahagian besar di
dominasi oleh pengusaha dan mantan orang Penting di Negara kita ini?,yah betul
karena mendirikan partai politik itu sangatlah mahal, dan mendapatkan posisi
yang strategis di PARPOL itu juga sangat “Mahal” oleh sebab itu beberapa dari
“Pemilik PARPOL” dan petinggi-petinggi PARPOL melibatkan hampir seluruh anggota
keluarga mereka untuk terjun menjadi Politisi dadakan biar bingung yang penting
berpolitik, tentu kita tidak mungkin membagikan sesuatu yang mahal kepada
mereka yang bukan siapa-siapa kita bukan?.
Atraksi – atraksi dan eksperimen
Politik ini tidak hanya terlihat di Pusat tapi juga sangat masife di hampir
semua daerah di Indonesia, dari Bapak, Istri, anak-anak, keponakan semua menjadi
pejabat, entah itu di dewan atau menjadi kepala daerah, atraksi politik seperti
ini lebih dikenal dengan istilah Dinasti Politik. Pada level Pusat sang ketua
umum PARPOL secara otomatis akan memberikan Posisi yang sangat strategis kepada
anak – anak mereka, di framing
sedemikian rupa untuk meningkatkan elektabilitas dan popularitas, dan tidak
lupa membeli mulut – mulut buzer sebagai pelengkap “Alat Politik” dan buzer ini
juga sangat multi fungsi di dunia perpolitikan, karena selain sebagai “Pembela pembabi
buta dan promosi” buzer juga berfungsi
sebagai pendukung kamuflase di dunia maya.
Anak sang ketua umum atau yang
empunya Partai Politik selalu digadang – gadang sebagai regenerasi dari sang
ketua umum atau sang empunya Partai, dibeberapa PARPOL anak – anak ketua umum
walaupun tidak punya perstasi yang menonjol
tapi di struktur partai pasti selalu menonjol, bahkan ada partai yang
secara terang-terangan melakukan lobi-lobi politik demi sang putra mahkota mendapatkan
posisi di eksekutif, tetapi ada juga ketua partai yang secara terselubung
menitipkan putra mahkotanya tapi sayang tidak ada gayung bersambut, tapi ada juga anak yang empunya PARPOL yang
biasa-biasa saja tapi anaknya masuk dijajaran pembantu Presiden.
Putra – Putri Mahkota didalam partai
politik memang sama sekali bukan hal yang salah, sekali lagi apapun itu semuanya
itu akan baik –baik saja kalau ada kesepakatan bersama secara politik. Bahkan
sang ketua umum yang tak tergantikan juga sama sekali bukan masalah, walaupun
parpol ada kesan menjadi parpol oligarki,
dan itu terjadi karena biasanya ada faktor yang melatarbelakangi-nya,
diantaranya sang ketua umum beserta keluarganya keturunan orang tertentu, sang
ketua umum beserta keluarganya merupakan sosok yang paling berjasa terhadap
Negara dan organisasi tapi yang paling keren karena sang ketua umum adalah
orang yang mempunyai banyak uang. Walaupun sekarang kita berada yang katanya di
era digital tapi hal – hal yang disebutian diatas masih tetap berlaku, mengapa
hal semacam itu masih berlaku?, karena adanya unsur mutualisme, ada yang butuh
sedikit kekuasaan tapi tidak punya kendaraan Politik, ada yang punya kendaraan
politik tapi kekurangan anak buah, maka terjadilah azas manfaat saling membutuhkan, jadi tidak
heran kalau masih banyak pejabat karbitan, Politikus yang meraba-raba, politis
baru merekah dan lain sebagainya.
Bahkan sempat ada anggapan dari
politikus – politikus yang masih meraba-raba kalau presiden saat ini adalah
presiden rasa bupati, mungkin ungkpan itu tidak berlebihan kalau melihat hampir
semua pekerjaan gubernur dan bupati dikerjakan oleh presiden.
Kita kembali menyoal “Politik Putra –
Putri Mahkota Pemilik Parpol” yang pada
Pemilu 2019 ini ikut meramaikan bursa Pemilihan legislatif, kita sebut saja
Puan Maharani, anak Pemilik atau KETUM PDIP, Pranda Paloh anak KETUM NASDEM, Angela
Tanoesoedibjo anak KETUM Partai Perindo, Yuri Kemal Fadlullah Mahendra anak
KETUM Partai Bulan Bintang, dan Edhie Baskoro Yudhoyono anak KETUM Partai
Demokrat, dari nama – nama anak KETUM parpol diatas ada beberapa yang sering
kita dengar namanya di media, bukan karena preastasi mereka yang cemerlang
sehingga diberitakan oleh media melainkan karna orang tua mereka ada yang
mempunyai media dan ada yang punya akses untuk dimediakan oleh orang tua mereka
yang ketua umum Parpol. Selain meramaikan
bursa calon legislatif anak – anak ketum Parpol juga sempat meramaikan bursa
calon mentri yang digadang – gadang dari parpol masing – masing, ada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang
beberapa kali menyambangi istana bertemu dengan Presiden Joko Widodo, namun
sayang sekali namanya tidak masuk di jajaran Menteri Jokowi dan Pembantu
Menteri yang terpilih, selain itu juga ada Angela Tanoesoedibjo yang saat ini
kita tahu dia menjadi Wamen dari Mentri Wishnutama di Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif, ok next ada juga nama Prananda Surya Paloh, putra Ketua
Umum Partai Nasdem Surya Paloh yang beberapa waktu lalu namanya disebut-sebut
kandidat kuat calon menteri Jokowi. Bahkan Sekjen Partai Nasdem yang kini
menjabat sebagai Menkominfo, Johnny G Plate pernah sempat mengatakan bahwa
Prananda Paloh layak menjadi calon menteri muda Jokowi. Tetap pada saat
pelantikan Mentri dan wakil Mentri anak ketua umum Partai Nasdem ini tidak masuk diantara jajaran mentri dan wakil
mentri Jokowi, apakah karena sang putra mahkota tidak masuk di jajaran mentri
dan wakil mentri Jokowi yang membuat Pemilik Metro TV menyambangi Kantor pusat
PKS dan tidak mengundang Presiden ke Kongres Partai Nasdem baru-baru ini pada 9
November 2019?. Mungkin dalam hati bang Surya bertanya-tanya, mengapa anak MNC
Tv bisa masuk di jajaran pembantu presiden, sedangkan anak pemilik Metro Tv
tidak masuk dan mungkin tidak sempat di lirik oleh Pak Dhe. Padahal kalau kita
mau menelusuri asal muasal “ngembeknya” bang Surya ke Pak Dhe soal jatah mentri
yang Cuma 3 orang dari Nasdem banyak pengamat menilai itu sudah sangat wajar,
sedangkan PDIP saja sebagai pemenang Pemilu yang mendapatkan 128 kursi di
senayan dengan persentase 19,33%, hanya mendapat jatah 4 jatah mentri, Nasdem
memperoleh 59 kursi di DPR, mendapat
jatah kursi mentri 3, ini sama dengan jumlah kursi menteri partai Golkar (85
kursi dengan perolehan suara 17.229.789 persentase 12,31%) dan PKB yang masing –
masing memperoleh 3 kursi mentri.
Mengutip dari https://news.detik.com
Ketua DPP PKB Daniel Johan pada Jumat (8/11/2019) mengatakan kalau mentri dari
partai Nasdem adalah mentri Premium, tidak tahu apa maksud mentri premium itu. Jadi
pertanyaannya apa yang melatarbelakangi Bang Surya jalan – jalan ke kantor
pusat PKS yang kita tahu adalah lawan Politik Nasdem dari Pilkada DKI sampai ke
PILPRES 2019, dan apa juga alasan Nasdem tidak mengundang Pak Dhe Jokowi ke
Kongres Partai Nasdem padahal masih segar di ingatan kita salah satu Slogan
andalan Partai Nasdem “Jokowi adalah kita” Dukungan tanpa pamrih..
“Yaellaaahhh nama juga politik bro..
serius banget nanggapinnya”…
Nih gw kasih sedikit kutipan dari Bro Joyce Mitchell dalam bukunya berjudul Analisis Politik dan Kebijakan
Publik:
”Politik
adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan yang umum bagi
seluruh masyarakat. Atau dengan kata lain ”Politik adalah pengambilan
keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan publik untuk seluruh masyarakat” << ini yang belum dilakukan Politikus
Indonesia
Nih ada lagi kutipan dari si Bro Harold D. Lasswell dan A. Kaplan dalam bukunya yang berjudul Power Society,
"Ilmu Politik untuk mempelajari pembentukan
dan pembagian kekuasaan"
dan dalam buku Who get What, When and How,
si bro Lasswell menegaskan lagi bahwa
"politik
adalah masalah siapa, mendapat apa, kapan dan bagaimana”
<<< nah yang
ini yang sedang terjadi di Indonesia dari dulu sampai sekarang…
Silahkan komennya
di kolom komen di bawah dan jangan lupa di share yaah.,..
terima kasih udah mau jalan – jalan ke Blog
saya…
Sumber Kutipan oleh : https://ulfanurwilda.wordpress.com
Dirangkum dan di tulis Oleh :
MixNewsDotCom / Arnoldus Leo Karra